Mohon tunggu...
Rinto F. Simorangkir
Rinto F. Simorangkir Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik dan lagi Ambil S2 di Kota Yogya dan berharap bisa sampai S3, suami dan ayah bagi ketiga anak saya (Ziel, Nuel, Briel), suka baca buku, menulis, traveling dan berbagi cerita dan tulisan

Belajar lewat menulis dan berbagi lewat tulisan..Berharao bisa menginspirasi dan memberikan dampak

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

DKI Jakarta Peringkat Nomor 1 Udara Terburuk, Bagaimanakah Sikap Pemprov DKI?

11 Maret 2019   07:20 Diperbarui: 11 Maret 2019   07:45 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada dua kemungkinan sikap seorang kepala daerah ketika mendapatkan suatu laporan jelek tentang wilayah yang dipimpinya. Pertama menolak kedua akan menerima laporan tersebut dan akan segera mengevaluasinya. Apalagi jika laporan tersebut berasal dari pihak asing, tentu sikapnya yang pertama adalah sulit untuk bisa mempercayainya sebelum tim dari internalnya melakukan sejumlah klarifikasi.

Maka apa yang diberitakan oleh lembaga independen dunia, seperti yang dilansir oleh kompas.com (10/3/2019), laporan dari hasil studi Greenpeace dan IQAirVisual menempatkan Jakarta sebagai kota dengan polusi udara terburuk di Asia Tenggara pada tahun 2018. Rilis studi ini dipublikasikan pada Selasa (5/3/2019).

Dimana menurut kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak, bahwa ratusan kota telah dimonitor kualitas udaranya secara reguler pada tahun 2018. Dan Jakarta menempati urutan pertama dan Hanoi berada di urutan kedua di Asia Tenggara untuk kualitas udara terburuk.

Rata-rata harian kualitas udara di Jakarta dengan indikator PM 2.5 pada tahun 2018 adalah 45,3 mikrogram per meter kubik udara. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan pedoman rata-rata harian kualitas udara yang sehat adalah 25 mikrogram per meter kubik udara. Itu artinya sudah dua kali lipat tingkat keburukan udara dari yang telah ditetapkan oleh WHO tersebut.

Adapun dua faktor penyebab DKI menjadi peringkat pertama memiliki udara paling kotor. Menurut analisis dari Kepala Greenpeace Indonesia, yaitu pertama karena intensitas kendaraan motor di Jakarta yang sangat padat. Sedangkan faktor kedua, karena pembangkit listrik tenaga uap berbahan baku Batubara, yang jaraknya hanya 100 meter dari DKI Jakarta.

Harapannya dengan kondisi yang demikian, apakah pemerintah provinsi DKI Jakarta akan menutup diri dengan situasi buruknya kualitas udara yang ada di DKI? Atau akan melakukan beberapa pola kebijakan untuk bisa memperbaiki peringkat terjelek tersebut.

Sebab jika tidak mengakui adanya peringkat tersebut apalagi menjadi peringkat nomor satu, bukankah itu akan berimbas kepada kualitas dan produktifitas sumber daya manusianya akan semakin berkurang. Oleh karena itu pemerintah provinsi DKI diharapkan supaya benar-benar aktif di dalam menanggulangi masalah tersebut.

Dimana sebenarnya sudah ada solusi yang sudah disiapkan oleh pemerintah sebelumnya. Yaitu moda angkutan publik seperti MRT dan LRT yang operasionalnya bisa dibilang sudah sangat siap. Meskipun hal tersebut baru akan bisa menyelesaikan masalah pertama yang menjadi penyebab udara di DKI menjadi sangat jelek.

Namun pertanyaannya apakah pemprov DKI akan berhasil mengubah pola berkendaraan orang DKI, dari menggunakan kendaraan pribadi beralih ke kendaraan publik? Hal ini butuh banyak percobaan dan banyak kebijakan untuk bisa mengubah pola kebiasaan yang sudah lama dimiliki oleh warga DKI tersebut. Dan sekali lagi tentunya hal ini akan berimbas kepada berkurangnya kualitas udara terburuk tersebut. Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun