Mohon tunggu...
Rinta Wulandari
Rinta Wulandari Mohon Tunggu... Pegawai -

wanita muslim, senang menulis, seorang perawat, Pejuang Nusantara Sehat Batch 2 Kemenkes RI. Punya banyak mimpi. twitter: @rintawulandari Karya yang pernah di terbitkan: - Tahun 2011 menulis buku bersama empat orang teman SMA berjudul “Buku Penting SMA” (Pustaka GoodIdea Indonesia), menulis cerita anak berjudul “Pelajaran Buat Kiki” (Lampung Post), cerita anak “Hantu Toilet” ( Lampung Post )- Tahun 2013 menulis antologi kumpulan cerpen berjudul “Dakwah dan Cinta” (Pustaka Jingga), antologi kumpulan cerita anak berjudul “Pelangi untuk Ananda” ( Pustaka Jingga), antologi kumpulan cerpen horor berjudul “The Haunted Night” (Meta Kata), antologi kumpulan cerpen horor komedi berjudul “Hantu Koplak in Action” (Publishing Meta Kata), cerpen yang berjudul “Jiwa Yang Luka” menjadi nominasi cerpen Favorite oleh event LMCR Rayakultura Rohto, cerpen berjudul “Cerita Lain pada Pantai Itu” diterbitkan dikoran Dinamika News, antologi kumpulan cerpen "Ruang(tak bernyawa)" oleh Az-Zahra Publisher. Tahun 2014; Cerita Anak Kode Rahasia Dika (Lampung Post), juara 3 even Phobia (Cerpen: Darah? No!)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Tak Mau Lagi Makan Bawang, Mak

9 April 2013   21:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:27 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Aku tak mau lagi makan bawang mak... Bawang hanya membuat kita tambah miskin..”

“Memang harga bawang sedang naik, namun bawang kan bahan wajib masakan.. kita harus membelinya, dan mengolahnya menjadi masakan kita..” tutur emak sambil mempersiapkan bahan masakan yang hendak disantap siang ini. Tahu dan tempe goreng, serta sambal terasi tanpa bawang yang telah di ulek emak. “Nah kali ini, ada sambal terasi tanpa bawang, sesuai kemauan mu.. sehabis makan kamu ke pasar ya Nak, beli bawang merah dan bawang putih seperempat kilo saja..” tutur emak lagi.

“Iya mak. Mungkin sambal akan terasa berbeda tanpa bawang, tapi lebih hemat. Kemarin aku mampir di kios koran mang Tejo. Harga bawang naik karena bawang impor dari China terhambat pengirimannya. Aku sendiri heran. Kenapa Indonesia yang kaya hasil alam, tanah yang subur harus impor bawang dari negara tetangga?”

“Itulah Nak, Indonesia di zaman emak dulu, belum ada gedung yang gedong seperti sekarang. Mana ada mini market dimana-mana. Dulu, sebagian besar adalah tanah pertanian yang subur. Sekarang?ah sudahlah, memikirkan Negara ini membuat nafsu makan emak berkurang. Kamu, masih anak kecil saja pendapatmu sudah panjang lebar.”

“Ah emak. Aku ini sudah 14 tahun. Wajar saja kalau aku bisa berpendapat macam-macam mak. Aku ini, anak muda Indonesia juga mak. Anak SMP seperti aku saja bisa prihatin dengan keadaan negara ini, bagaimana dengan pejabat yang mencuri uang rakyat itu?tak tau malu mereka.”

“Dahlan.. Dahlan, tak salah emak mu ini mengutip nama orang besar di Negeri ini menjadi nama mu, semoga kamu pula menjadi pejabat bersahaja seperti Dahlan Iskan.. yasudah, makanlah nasi mu keburu dingin nanti...” emak mengusap rambut anak satu-satunya ini. “Nanti, kalau rejeki emak baik, kau ku sekolahkan pada ilmu politik ya, Nak.Kalau kamu berdebat, pasti tak akan kalah. Dan hei, jangan korupsi kau nanti..” tutur emak dengan logat Bataknya.

“Siap Mak!” jawab anaknya yang sedang melahap makan siang tanpa bawang itu.

***

Setelah makan siang, Dahlan segera kepasar tradisional yang cukup jauh dari rumahnya. Melewati perumahan pemulung. Kumuh. Melewati aliran sungai yang selalu mengalir deras walau musin kemarau. Dahlan berjalan menggenggam erat uang seuluh ribu dari emaknya. Dahlan tau uang untuk membeli bawang ini dikumpulkan emak dengan susah payah memungut barang bekas, memulung di tiap kontak sampah perumahan. Sebenarnya membeli bawang di warung pun bisa, tapi Dahlan tetap memilih ke pasar Tradisional, pasti harga bawang disana lebih murah. Walau Dahlan harus berjalan kaki 5 kilometer jauhnya.

Sampailah Dahlan ditempat tujuan. Pasar tradisional tempat dirinya membeli bawang. Dengan tubuh yang penuh peluh karena sengatan matahari, kulit hitam legam, tak masalah bagi Dahlan. Toh dirinya sudah sampai ditempat tujuan.

Om, beli bawang merah dan bawang putihnya seperempat ya.. berapaan om?”

“Dua belas ribu dik..” jawab penjual

Dahlah terdiam, menunduk, memperhatikan uang selembar sepuluh ribu-an yang sudah kumal di tangannya.Tentu saja kurang. Dahlan hanya membawa uang selembar sepuluh ribu. Haruskan ia kembali pulang ke rumah untuk meminta tambahan uang dua ribu kepada emaknya dirumah?jauh sekali untuk kembali.

“Mahal betul om, kurangilah harganya?” tanya Dahlan memelas.

“Harga bawang satu kilo saja sudah 60 ribu-an dik. Kalau dimurahin, nanti saya gak dapat untung...”

“Om, harganya sepuluh ribu sajalah.. saya sudah jauh-jauh datang kesini untuk membeli bawang. Emak saya mau masak om.. kurangilah harganya. Rumah saya jauh om, 5 kilometer dari sini..” ungkap Dahlan memelas.

Sang penjual memperhatikan gelagat Dahlan. Dilihatnya kondisi Dahlan dari ujung kaki hingga ujung kepala. Memakai sandal jepit Swallow yang sudah hampir putus, celana pendek hitam, dan kaus oblong putih bewarna kusam, rambut tipis penuh peluh, serta keringat yang membasahi bajunya.

“Hm.. baiklah. Untuk kamu, saya kasih sepuluh ribu..”

Hati Dahlan riang, dirinya tersenyum lebar. “Wah terimakasih om..Terimakasih, bawang merah dan bawang putih yang montok ya Om”

“Banyak mau sekali kau.. seadanya sajalah..” jawab penjual.

Om, pembeli adalah raja toh? Jadi pilihkan lah bawang terbaik yang om punya untuk saya..” tutur Dahlan sambil terkekeh.

“Dasar kau, ini aku pilihkan yang paling montok untukmu, biar puaslah kau..”

Sesaat kemudian, bawang merah dan bawang putih sudah di bungkus dengan kertas putih. Kertas putih yang sepertinya kertas bekas ujian anak sekolah. Kemudian bungkusan kertas sudah dimasukkan kedalam kantung plastik tipis. Dahlan memberikan selembar sepuluh ribu kepada si penjual. Dengan hati girang, Dahlan melangkah pulang. Ada rasa bangga dihati Dahlan, telah berhasil menawar pada penjual bawang. Terbayang olehnya, sampai di rumah, dan menceritakan kejadian ini kepada emaknya.

Dalam perjalanan panjangnya, Dahlan bertemu berbagai orang, berbagai situasi, berbagai tempat. Dahlanmelewati jalanan sempit, melewati perumahan orang kaya, melewati sekolahnya, melewati jalan raya. Semua dijalani dengan ikhlas. Dahlan menggenggam kuat kantung plastik bening yang berisi bahan makanan mahal bagi rakyat Indonesia saat ini, Bawang.

Dalam perjalanan pulang pun, Dahlan bertemu teman-temannya yang menyebar sebagai loper koran, pengamen dan penjual makanan kecil. Dahlan bertegur sapa dengan teman-temannya itu, sesekali duduk sesaat menghilangkan penat dengan membaca sekilas berita di koran. Terbaca olehnya, sebuah judul.. ‘Harga Bawang naik, Harga Cabai pun Ikut Naik’.

“Lihatlah berita ini, Man..” tutur Dahlan kepada Usman, temannya si loper koran.

“Memang kenapa Lan?”

“Membaca judulnya saja membuatku sakit hati..”

“Kamu sakit hati? karena harga cabai atau karena perempuan?” tanggap Usman dengan kekehan.

“Sudah bawang mahal, kini temannya pun mahal. Tidak bisa lagi aku makan sambal terasi buatan emak ku..”

Hm ya begitulah Lan, yang miskin tambah miskin, yang kaya makin kaya.. koruptor makin berjaya, rakyat seperti kita makin merana...”

Ah, pening aku memikirkan negara ini. Sekalian saja kita transmigrasi ke Ethiophia, supaya jadi rakyat miskin sedunia,” tutur Dahlan sebal. “Sudahlah, aku pulang dulu ya Man, emak ku pasti sudah menunggu ku membawa bawang emas ini...”

“Hahaha bisa saja kau Dahlan.. barang emas pun bukan, tapi harga selangit. Baiklah hati-hati kau..” usman menanggapi sambil terkekeh pada pemikiran temannya ini.

Dahlan dan Usman memang sangat cocok kalau berdiskusi. Dahlan sendiri sangat senang mengobrol dengan Usman. Pemikirannya yang muda dan kritis, merupakan lawan bicara yang pas bagi Dahlan.

***

Setelah berjalan cukup lama, ah tinggal 500 meter lagi sampai di rumah. Dahlan makin semangat. Emak pasti menunggu Dahlan, dan sudah dipastikan pisang goreng dan teh manis tersedia di meja. Kebiasaan emak sebagai bentuk imbalan pada anaknya. Tiba-tiba hujan lebat.. hujan kali ini tanpa rintik kecil, tanpa pembukaan. Hujan yang langsung lebat. Segera mengguyur Dahlan. Disimpannya bungkusan bawang kedalam bilik baju oblongnya. Dahlan sangat menjaga barang yang dibelinya dengan susah payah itu.

Sebentar lagi sampai Dahlan. Kamu harus bisa menerobos hujan kali ini.. tutur Dahlan dalam hati. Dahlan tersentak kaget, ketika melihat aliran sungai di dekat rumahnya banjir setinggi lutut, dengan aliran yang deras. Baiklah ini hanya setinggi lutut. Kau hanya perlu berpegangan kuat pada pinggir penyangga jembatan ini Dahlan. Kamu pasti bisa. Dahlan kembali menyemangati dirinya sendiri.

Air diatas jembatan sudah setinggi lutut, Dahlan berpegangan kuat pada pinggiran jembatan aliran sungai semakin deras.

“Ayo pelan-pelan..” bisik Dahlan. Dahlan melangkah setapak demi setapak. Ia tidak memperhatikan derasnya banjir yang menyapa hingga lututnya itu. bungkusan bawang bergelantungan di jari Dahlan. Pelan-pelan.. Dahlan berhasil menyebrangi jembatan yang banjir. Kini Dahlan sudah hampir sampai di jalan beraspal yanglebih tinggi, jalan yang tidak terkena banjir.

“Akhirnya aku sampai...” Dahlan tersenyum bangga. Dahlan melangkah, Namun.. Dahlan tersandung oleh sebuah batu yang cukup besar, dahlan terjatuh dan bungkusan bawang itu terlepas dari genggamannya. Bawang merah dan bawang putih itu buyar, mengikuti aliran sungai yang deras dan dasyat..

“Bawangku.. Bawangku...!” Dahlan berlari menyusuri sungai. Matanya hanya tertuju pada Bawang yang sudah dibelinya dengan susah payah. Bawang-bawang montok nya. Dahlan berlari, tanpa menghiraukan jeritan warga yang melarangnya berlari di aliran sungai deras itu, ditengah hujan deras, dan banjir hebat, Dahlan terus mengejarbawang-bawangnya yang ia fikirkan adalah mengambil seluruh bawang, menyerahkannya kepada emak, dan menikmati pisang goreng serta teh manis buatan emak dirumah.

Tiba-tiba gelas berisi teh manis hangat terjatuh dari genggaman emak. Bunyi yang nyaring, dan ketika emak membereskan serpihan gelas itu, tangan emak tergores pecahan gelas, berdarah. Sekelebat fikiran datang di kepala emak. Dahlan.. ada apa dengan anakku?

Dahlan hilang dari pandangan warga, hilang seiring derasnya aliran sungai di kala lebatnya hujan sore ini. Dahlan terbang bersama udara.. gesekan angin seakan membentuk suara sayup.. “Aku tak mau lagi makan bawang, Mak...”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun