Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Walau Kerahkan PAN dan UMS, Film Ahok Tetap Unggul dari Film Hanum

17 November 2018   08:10 Diperbarui: 17 November 2018   20:04 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Tangkapan layar dari filmindonesia.or.id)

Hingga hari ke-9 (Jumat, 16/11/2018) setelah tayang di bioskop sejak Kamis (8/11/2018) film: "A Man Called Ahok" (AMCA) masih tetap unggul dari "Hanum dan Rangga: Faith and The City" (Hanura).

Rilis terbaru dari filmindonesia.or.id menunjukkan bahwa hingga Sabtu pagi (17/11/2018), AMCA telah disaksikan 866.862 penonton sedangkan Hanura kurang dari separuhnya, 308.480 penonton.

Artinya, walaupun Sekjen Eddy Soeparno dan Wakil Ketua Umum Viva Yoya Mauladi sudah menginstruksikan Kader PAN untuk menyaksikan film Hanura, bahkan Rektor UMS juga melakukan hal yang sama menginstruksikan pegawai dan mahasiswanya, tetapi tetap saja Hanura masih keok.

Itu berarti Kader PAN dan simpatisannya di seluruh Indonesia serta mahasiswa dan pegawai UMS, masih banyak yang tidak atau belum menonton film Hanura. Kalau sudah, tentu jumlah penontonnya pasti tidak hanya 300 ribuan tetapi sudah di atas jutaan. Apakah mereka tidak loyal atau memang instruksi itu dianggap tidak terlalu serius?

Entah siapa yang memulai, apakah hanya sekedar strategi marketing agar kedua film ini laris manis di pasaran, atau memang ada unsur-unsur "politik adu pengaruh" antara "Ahok dan Amien Rais", yang jelas kedua film ini berhasil menyita perhatian masyarakat.

(tribunnews.com)
(tribunnews.com)
Walaupun Nurman Hakim seorang Sutradara Indonesia sudah angkat suara dengan meminta penonton Indonesia agar melihat, menikmati dan menghargai kedua film tersebut murni sebagai sebuah film dan karya seni tetapi nampaknya lebih banyak yang melihatnya dari sisi subjektif.

Memang harus diakui bahwa selain sebagai karya seni, sebuah film juga pasti memiliki ideologi, pesan dan kesan bahkan terkadang ada propaganda yang ingin disampaikan. Maka tak jarang sebuah film juga sering dijadikan sebagai alat politik untuk mempengaruhi masyarakat yang menyaksikannya bahkan terkadang menciptakan opini palsu.

Maka sebuah film juga tidak lepas dari latar belakang tokoh yang diceritakan dalam film tersebut, juga para pemain, sutradara, produser atau hal-hal eksternal seperti situasi dan kondisi politik ketika film itu dibuat.

Tetapi sebagai karya sastra Nurman mengajak masyarakat agar menikmati dan mengapresiasi kedua film ini sekaligus memetik pesan atau pelajaran dari kedua film ini. 

"Kalau kita datang dan menontonnya dengan pretensi tertentu, apa saja yang disampaikan dalam film itu akan dianggap salah," tutur Nurman kepada Antaranews (13/11/2018)

Semoga saja masyarakat kita lebih cerdas dalam mengapresiasi dan mengambil manfaat dari sebuah karya seni khususnya film dan tidak terbawa dalam emosi jiwa yang tidak sehat.

(RS)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun