Ketika nama Prof. Dr. Kyai Haji Ma'aruf Amin dibacakan Jokowi sebagai pendampingnya di Pilpres 2019, mungkin saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang kecewa. Mengapa?
Alasannya bukan karena saya tidak menyukai atau meragukan kapabilitas Ma'aruf Amin. Tetapi saya sudah terlanjur mengagumi Mahfud MD dengan segala sepak-terjangnya dan sangat menjagokan pakar hukum tersebut menjadi cawapresnya Jokowi.
Mahfud MD adalah seorang tokoh yang cerdas, tegas, lugas dan bersih dari kasus korupsi dengan segudang pengalaman di bidang pemerintahan. Dikutip dari ensiklopedia bebas Wikipedia, jabatan yang pernah beliau emban hingga sekarang adalah:
- Plt. Staf Ahli dan Deputi Menteri Negara Urusan HAM (1999–2000)
- Menteri Pertahanan Republik Indonesia, kemudian Menteri Kehakiman (2000–2001)
- Anggota DPR RI, menempati Komisi III dan Wakil Ketua Badan Legislatif (2004–2008)
- Anggota Tim Konsultan Ahli pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Depkum HAM RI (sekarang)
- Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2008–2013)
- Anggota Dewan PengarahUnit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017–2018)
- Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (2018–)
Seperti tulisan saya sebelumnya di Kompasiana: "Mereka yang Berharap dan 'Layak' Mendampingi Jokowi pada Pilpres 2019", tidak berlebihan jika saya menjagokan beliau dan sangat berharap Jokowi memilihnya sebagai pasangannya di Pilpres 2019.
Alasannya sangat masuk akal, karena selain mempunyai kemampuan yang mumpuni, saya pikir Mahfud MD juga mempunyai pengaruh yang cukup besar dikalangan pemilih yang kontra-Jokowi, yang jelas dapat membantu mendongkrak perolehan suara Jokowi.
Dan hingga detik-detik terakhir pengumuman cawapres Jokowi, harapan saya dan sebagian besar masyarakat Indonesia yang menjagokan Mahfud MD sepertinya akan segera menjadi kenyataan.
Siaran langsung dibeberapa stasiun televisi swasta nasional pada sore hari, Kamis 9/8/2018 jelas menyatakan bahwa mereka sedang menunggu kehadiran Mahfud MD di Restoran Plataran Menteng untuk dideklarasikan sebagai cawapresnya Jokowi.
Tetapi kemudian setelah Jokowi membacakan nama pasangannya: profesor... doktor... dan tiba-tiba dilanjutkan dengan sebutan... kyai haji... Ma'aruf Amin, mungkin hampir semua wartawan yang memenuhi restoran tersebut kaget kecuali Ketua Umum partai koalisi yang telah menandatangani kesepakatan tersebut.
Pertanyaannya adalah: mengapa Ma'aruf Amin dan bukan Mahfud MD? Mengapa perubahan itu begitu tiba-tiba dan membatalkan nama Mahfud MD di last minute? Apakah hal itu sebagai bagian dari strategi untuk mengecoh kubu lawan?
Saya hanya mau mengatakan, Jokowi jauh lebih cerdas dari yang kita pikirkan.Â
Pernyataan Said Aqil Siradj yang menyatakan bahwa Mahfud MD bukan merupakan kader atau tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pernyataan Ketua PBNU Robikin Emhas bahwa kalau cawapres bukan dari kader NU, sehingga warga Nahdiyin merasa tidak memiliki tanggung jawab moral untuk ikut 'tali wondo' menyukseskan, maka bola panas pun bergulir.