Setiap kali berkunjung ke kota Tanjungpinang, saya selalu menyempatkan diri untuk singgah barang sebentar ke sebuah toko buku yang lumayan besar dan cukup lengkap.
Toko buku tersebut mengambil tempat di bagian paling depan Bestari Mall. Sebuah mall yang sudah hampir mati karena ditinggalkan para penyewa counter akibat sepi pembeli.Â
Mall tersebut tepat bersebelahan dengan gelanggang olahraga Kaca Puri yang didepannya berjejer penjual makanan dan minuman di bilangan jalan Teuku Umar, Kota Tanjungpinang.
Dan seperti biasa setiap kali ke sana, saya selalu langsung menuju lantai terakhir dari gedung itu tanpa memperhatikan jajaran rak-rak buku yang ada di lantai 1 dan 2.
Hal apa gerangan yang menarik di lantai 3?
Jika Anda naik tangga dari lantai 2 menuju lantai 3, nanti disebelah kanan tangga, persis disebelah rak buku komputer, Anda akan menemukan dua buah lemari besar-dua tingkat yang berisi buku-buku yang tak tersusun rapi.
Buku-buku tersebut adalah buku-buku yang "tidak laku" yang kemudian dijual dengan harga Rp 7.500,- hinggaRp 10.000,-, jauh dibawah ongkos cetak dan distribusinya.
Dan kebiasaan saya adalah memilih-milih buku-buku yang barangkali cocok dengan selera saya. Dan anehnya buku-buku tersebut ternyata diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar sekelas Gramedia.
Mengapa buku-buku tersebut "tidak laku" sehingga harus dijual jauh di bawah harga normal? Apakah buku-buku tersebut tidak bermutu dan tidak bermanfaat bagi pembaca sehingga tidak menarik minat pembeli?
Bagaimana perasaan penulis buku tersebut jika melihat hasil karyanya diserakkan begitu saja bagaikan sampah tak berguna?
Apakah sumber energi utama bagi seorang penulis selain dari sekedar hobi? Sumber energi penulis adalah melihat hasil karyanya disukai banyak orang dan mendapatkan tanggapan yang serius dari masyarakat luas?