Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia, Cita-cita dan Garis Tangan

15 Februari 2018   10:18 Diperbarui: 15 Februari 2018   10:24 1669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  

"Makanya saya bilang kalau Anda takut Jokowi jadi presiden, ya nggak usah ditakutin, kalau sudah garis tangan, nggak kebendung dia," (Ahok)

Indonesia memiliki penduduk sekitar 250 juta jiwa lebih dan presidennya hanya satu. Tentu saja banyak yang ingin dan bercita-cita menjadi presiden tetapi keinginan dan cita-cita saja tidak cukup. Bahkan kecerdasan, popularitas, dan kekayaan pun tidak. Dibutuhkan garis tangan yang telah "tertulis" sejak lahir. Bahkan sejak masih dalam kandungan.

Joko Widodo berasal dari keluarga sederhana. Bahkan, rumahnya pernah digusur sebanyak tiga kali, ketika beliau masih kecil. Dengan kesulitan hidup yang dialami, beliau terpaksa berdagang, mengojek payung, dan jadi kuli panggul untuk mencari sendiri keperluan sekolah dan uang jajan sehari-hari.

Saat anak-anak lain ke sekolah dengan sepeda, beliau memilih untuk tetap berjalan kaki. Mewarisi keahlian bertukang kayu dari ayahnya, beliau mulai bekerja sebagai penggergaji di umur 12 tahun.

Jokowi Diary.com
Jokowi Diary.com
              

Mungkin saat itu, jika Jokowi kecil ditanya apakah beliau bercita-cita menjadi seorang Presiden? Dia akan menjawab: "Tentu saja mau", tapi mungkin cita-cita itu terlalu besar untuk dijangkau dan itu merupakan jawaban yang diucapkan hampir semua anak-anak seumuran beliau ketika itu..

Setelah Jokowi sudah menjabat sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia, seseorang bertanya: "Apakah bapak sebelumnya memang bercita-cita menjadi seorang Presiden?" Jawabannya Justru di luar dugaan. 

Jangankan menjadi Presiden, menjadi Walikotapun tak pernah terpikirkan sebelumnya. Salah satu bukti adalah beliau menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada bukan di Akademi Militer. Setelah lulus, dia menekuni profesinya sebagai pengusaha mebel.

Namun garis tangan berkata lain. Kegigihan dan kepiawaian beliau memimpin perusahaan mebelnya sendiri membuat partainya PDI- Perjuangan tertarik mencalonkan beliau menjadi Walikota Solo pada Pilkada langsung. Dan hasilnya sungguh diluar dugaan, beliau menang mudah menjadi Walikota ke-16, bahkan untuk 2 periode walaupun periode kedua tidak selesai.

Keberhasilannya mengubah wajah kota Solo, dan gaya kepemimpinannya yang dekat dengan rakyat dengan ciri khas "blusukan", anti korupsi, penampilan dan gaya bahasa yang sangat sederhana membuat popularitasnya meroket tajam.

Ditengah kepemimpinannya di Kota Solo, masyarakat Jakarta "memanggil" beliau untuk memimpin Jakarta. Lagi-lagi partai yang membesarkannya, PDI-Perjuangan membaca dan melihat keinginan yang kuat dari masyarakat Jakarta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun