Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Terimakasih Transjakarta, Terimakasih Kemacetan, Kolestrolku Terbakar Habis Hari Ini

26 Februari 2016   23:49 Diperbarui: 27 Februari 2016   00:57 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan ke kantor setiap hari adalah sebuah drama. Menggunakan fasilitas transjakarta yang sedang ‘naik daun’, karena hampir berhasil mengalahkan jagoan jalanan, metromini dan kopaja. Menikmati memanjat jembatan penyeberangan orang, menurun lagi dan tiba di halte transjakarta. Dalam menunggu ini sering sekali aku memperhatikan tingkah manusia. Ada macam-macam. Mulai yang sabaran, tidak peduli, cuek, sopan, berangasan, rapi, wangi, jali, cantik, gosong dan mengkilat. Berwarna-warni.

Mendengarkan celotahan penumpang, meskipun jarang karena orang Jakarta bawaannya individual dan curigaan, aku bisa memastikan kalau kebanyakan dari mereka pekerja. Mungkin para pekerja yang menapaki kehidupan di tingkatan menengah ke bawah. Walau kadang aku juga ketemu dengan mantan pejabat dan orang dari kelas ‘tinggi’ yang ingin mengukur jalan dengan santai tanpa direpotkan dengan kemacetan dan urusan parkir kendaraan yang pastinya menantang dan memiliki masalah tersendiri. Masih banyak lagi ragam manusia yang menikmati layanan publik satu ini. Mungkin karena memang tarifnya relatif sangat murah. Karenanya, penumpang menjadi mebludak, apalagi di jam-jam kantor. Jumlah penumpang dan armada tidak seimbang. 

Dalam proses mencari tempat duduk, perjuangan mendapatkan satu tempat duduk menjadi agenda tersendiri bagi banyak orang. Tidak bagiku. Aku tidak akan buru-buru masuk.  Aku santai saja,  karena aku tidak berharap untuk mendapatkan tempat duduk. Kalaupun aku mengejar untuk mendapatkan tempat duduk, itu karena aku ingin mengamankan satu tempat duduk untuk wanita yang nantinya akan aku pilih untuk duduk disitu. Pasti berfikirnya, aku akan mendahulukan wanita cantik dan kinclong.

Tidak seperti itu. Aku punya kriteria tersendiri mengenai penumpang yang aku berikan ‘hadiah’ tempat duduk itu. Aku akan mencari wanita yang paling tua dan paling renta untuk duduk disitu. Kalau ibu-ibu hamil, sudah menjadi perhatian sang kondektur. Jadi aku tidak membuat mereka menjadi priorits. Dengan sigap, sang kondektur akan menyediakan kursi untuk ibu hamil tersebut. Untuk tempat duduk yang aku amankan, wanita cantik, muda dan kinclong pastilah selalu menjadi pilihan terakhir untuk menempatinya. Jadi kalau ada niat dan kesempatan aku selalu mengamankan satu kursi untuk diserahkan.

 Selebihnya, aku akan memilih berdiri di tempat favorit. Di bagian belakang dekat pintu yang selalu tertutup, tidak difungsikan. Disitu aku bisa dengan nyaman dan santai membaca koran atau buku yang aku selalu siapkan di tas. Karena rasanya sia-sia menghabiskan waktu perjalanan satu setengah jam dari rumah ke kantor tanpa melakukan sesuatu yang berarti. Dan yang paling bisa dilakukan adalah membaca. Jika kemudian aku tidak bisa melakukan apa pun, maka aku berdiri saja memandangi keadaan di luar bis, yang sebagian besar sepertinya sudah aku hapal. Disana bisa saja aku temukan sumber tulisan. Dengan segera aku mengeluarkan catatan kecilku untuk membekukan ide itu. Supaya tidak lupa terbawa goyangan bis dalam perjalanan ke halte terakhir. Sering sekali ide tulisan itu muncul begitu saja. Bisa dari keadaan di luar atau menyaksikan tingkah orang—orang di dalam bis.

Tetapi ada hal lain yang membuat aku memilih untuk berdiri setiap berangkat ke kantor dan pulang dengan menggunakan transjakarta. Jika dihitung lamanya berdiri, rata-rata aku berdiri dua jam setiap satu perjalanan, di dalam bis ditambah jalan. Dalam sehari, aku bisa menghabiskan empat jam berdiri.

Menurut Indiantimes, yang disadur suaradotcom, sebuah penelitian terbaru di Inggris menemukan bahwa berdiri setidaknya dua jam sehari menyimpan manfaat yang sama seperti melakukan aktivitas fisik. Temuan yang melibatkan 800 partisipan ini menunjukkan bahwa berdiri total dua jam sehari bisa menurunkan kadar kolesterol jahat sebanyak 11 persen dan kadar gula darah sebanyak 2 persen.  Berdiri juga dilaporkan dapat meningkatkan kadar kolesterol baik dalam darah. Menurut peneliti, hasil ini bakal lebih baik jika didukung dengan aktivitas fisik setidaknya 30 menit sehari plus diet rendah lemak jenuh.

Hasil penelitian di atas yang membuat aku setia untuk selalu berdiri di angkutan-angkutan umum baik transjakarta maupun KRL. Memilih berdiri menjadi sebuah kesadaran dan keniscayaan karena ada manfaat yang luar biasa bagi tubuh. Setidaknya begitulah aku mempersepsikan hasil penelitian tersebut. Disamping kolestrol itu, aku juga berusaha membakar sedikit lagi kalori dengan bergoyang-goyang mengikuti irama goyangan bus. Karena aku tidak peduli dengan pandangan orang, aku tidak malu-malu melakukannya. Setiap hari, setiap lima hari seminggu, aku berdiri kurang lebih selama 4 jam. Bisa anda bayangkan betapa banyak  kolestrol dan gula darah aku yang  terbakar.

Pagi ini, aku berangkat lebih lambat. Hujan seharian yang menjadi penyebabnya. Ketika menggesekkan kartu ‘sakti itu di gate transjakarta itu, seorang mbak manis yang setia menjaga mangatakan bus akan terlambat karena terjadi kemacetan. Kemacetan itu telah mengakibatkan banyaknya calon penumpang yang menunggu. Bus—bus tidak kunjung datang. Penambahan penumpang akan meningkatkan persaingan untuk mendapatkan tempat di bus transjakarta.

Sudah hampir 30 menit berdiri menunggu, bus yang ditunggu tidak juga datang. Penumpang sudah semakin memludak dan mulai menggerutu. Aku memilih berdiri agak jauh dari pintu ke bus karena sudah tidak mungkin juga berdiri dekat-dekat situ. Disamping tidak ada tempat, aku juga sudah memastikan untuk naik bis kedua saja yang pastinya datangnya lebih lama. Pada hampir menit ke 45 berdiri, bus merah itu perlahan tapi pasti mendekati halte tempat aku berdiri menunggu. Meskipun halte itu seperti penuh, ternyata bus kosong itu mampu menelan seluruh penumpang yang ada. Tentunay dengan didesakkan. Dan aku mendapatkan tempat ditengah. Pojok favoritku telah diisi orang lain. Mungkin dia memiliki pandangan yang sama. Pojok di depan bangku paling belakang di pintu yang selalu tertutup itu, adalah tempat ternyaman untuk berdiri dan menghayal.

“Tutup pintu” bapak kondektur berteriak kepada sopir. Pintu tertutup dan bus pun mulai bergerak menuju halte terakhirnya di Dukuh Atas. Tidak lama bus bergerak. Tidak ada satu menit, busnya sudah berhenti. Tidak bisa bergerak. Jalurnya yang seharusnya steril telah menjadi kotor. Terkotori oleh mobil—mobil bagus yang menyerobot jalur transjakarta. Untuk para penyerobot ini, aku kadang mengatakan dalam hati, “Kalian itu egois sekali. Sudah nyaman dalam mobil bagus dan dingin dengan tempat duduk yang empuk, masih menyerobot jalur milik orang-orang yang duduk dengan terhimpit dan sebagian besar berdiri di dalam bus transjakarta. Kalau alasan soal waktu, para penumpang bus ini juga memperkarakan hal yang sama”. Tapi sia-sia saja memaksa mereka keluar dari jalur, karena mereka juga tidak perduli. Karena juga katanya, kalaupun ditilang polisi diujung jalur, masih bisa diselesaikan dengan ‘damai’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun