Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gaduhnya Amerika Serikat dan Snowden yang 'Kecele'

2 Februari 2017   16:06 Diperbarui: 2 Februari 2017   16:27 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: snowdenfilm.com

Dua minggu sudah DJ Trump menjadi presiden Amerika Serikat. POTUS alias President of the United States adalah orang dengan kekuatan terbesar di dunia. Kekuatan ekonomi, kekuatan militer dan kekuatan teknologi. Kalaupun China sekarang membayangi, masih tertinggal cukup jauh.

Pemilihan presiden AS memang memiliki dinamika sendiri yang menarik perhatian seluruh umat manusia di bumi ini. Presiden terpilih AS akan menentukan arah hubungan antar negara, politiknya dan perdagangannya. Tetapi, pemilihan presiden AS 2016 memantik banyak keraguan yang sangat meluas.

Terpilihnya DJ Trump dibarengi dengan kontroversi yang menggema hingga sekarang. Disebabkan sosoknya dikenal sangat anti kemapanan atau populisme. Kampanye-kampanyenya dengan slogan Make America Great Again sangat mengaduk-aduk masyarakat AS dan dunia. Kampanyenya menyerang kemapanan. Trump didukung masyarakat yang selama ini terpinggirkan oleh elit dan kaum mapan. Impian mereka mewujud dalam diri Trump.

Kampanye kontrovesialnya terkait dengan isu-isu agama, ras, ekonomi dan hubungan antar negara. Dengan Rusia Trump ingin menjalin hubungan erat dan mesra. Dengan China Trump ingin memaksa supaya perdagangan lebih fair. One China-nya China itu pun dianggap angin lalu. Mexico dituduh sebagai pengekspor pelaku kejahatan, pemerkosa dan pedagang narkoba. Negara-negara Timur Tengah dituduh sebagai biang terorisme.

Di dalam negeri, teriakan-teriakan Trump juga menyerang banyak pihak. Semua kebijakan Obama dianggap sebagai ‘bencana’. Hillary dengan pengalaman puluhan tahun di birokrasi dianggap juga penyebab ‘bencana’. Kebijakan Obamacare menjadi salah satu yang akan dibatalkan jika terpilih. Dan itu sudah dilaksanakan. Satu lagi yang akan masih ditunggu adalah penyelidikan skandal Hillary terkait penggunaan email pribadi untuk urusan negara. Trump menjanjikan dalam kampanyenya bahwa dia akan menugaskan Jaksa Agung-nya untuk menyelidiki ‘kejahatan’ Hillary ini yang disebut sebagai bencana juga. Kata ‘bencana’ menjadi kata kunci Trump untuk semua ‘serangan’-nya.

Perseteruan Trump juga banyak terjadi dengan para pemimpin dan organisasi dunia lainnya. Angela Merkel diserang dengan kebijakan menerima satu juga pengungsi ke Jerman. Tidak kurang pimpinan umat Katolik, Sri Paus juga diserang karena mempertanyakan ke-Kristen-an Trump. NATO dituduh telah usang, karena dibentuk pada masa perang dingin. PBB tidak luput jadi sasaran. Trump berencana mengurangi pendanaan ke badan internasional ini. “Mengurangi pemborosan pajak rakyat,” kata Trump. “Climate Change adalah Hoax. Itu hanya bualan China”, teriak Trump.

Heboh terkininya, ketika Trump memecat Sally Yates, Pejabat Pelaksana Jaksa Agung AS yang menahan Executive Order yang dikeluarkan Trump pada 27 Januari 2017, terkait pelarangan masuknya warga dari 7 negara ke AS. Meskipun Trump mengatakan dikeluarkannya Executive Order ini untuk melindungi masyarakat AS dari serangan teroris. Tetapi, banyak yang meragukan karena basisnya adalah isu agama dan mantan pembawa acara reality show Apprentice ini tidak memiliki bisnis di ketujuh negara tersebut.

Langkah-langkah Trump membuat para pemimpin dunia was-was. Semua pemimpin dunia dalam kondisi siap-siaga untuk mendengarkan kebijakan Trump yang seringnya disebarkan melalui twitter. Akibatnya, kebijakan Trump lebih dahulu diketahui dunia, sebelum diketahui para bawahannya.

Rusia dibalik Kemenangan Trump

Jauh sebelum pemilihan presiden dilaksanakan pada tanggal 8 November 2016, Trump telah menyatakan kalau dia tidak akan menerima hasil pemilu jika dirinya kalah. Sesuatu yang jarang terjadi di AS. Kalau Trump kalah, dia katakan, itu pasti karena sistem pemilihan sudah dicurangi.

Nyatanya, sesuai dengan sistem pemilihan AS yang menggunakan model electoral vote dan winner takes all, Trump dinyatakan menang dengan jumlah electoral vote yang mencengangkan. Kecurigaan memuncak, karena popular vote ternyata menunjukan Hillary dipilih lebih banyak warga AS. Selisih popular vote Trump and Hillary mencapai hampir 3 juta suara. Pada saat itu dicuatkan untuk menghitung ulang suara, meskipun pada akhirnya tidak terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun