Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Merehabilitasi Kepriyayian Pelayan Rakyat Jakarta

23 November 2017   21:37 Diperbarui: 24 November 2017   08:41 4461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mematut diripun harus mendapatkan bantuan 'pelayan' layaknya seorang priyayi pada zaman dahulu. Sumber: voaindonesia.comm

Penyakit itu biasanya menular, jika dan hanya jika sedang berdekatan. Bisa juga karena berinteraksi. Biasanya begitu. Tetapi satu 'penyakit' yang diderita oleh Donald Trump ternyata mengalir jauh hingga ke Jakarta. Donald Trump memiliki penyakit yang relatif gawat.

Dalam pemerintahannya, Trump, yang memilih menempatkan menantunya yang masih sangat muda itu menjadi penasihat seniornya, memiliki kebijakan yang rada anomali. Salama, bolehlah disebut seperti itu. Artinya, semua salah Obama.

Segala sesuatu yang terjadi dengan Amerika saat ini yang dipersepsikan sebagai sebuah kemunduran, merupakan sebuah kesalahan yang dilakukan oleh Obama. Pada gilirannya,  Trump menjalankan kebijakan asal bukan Obama.

Maka jadilah penjungkirbalikan kata yang luar biasa. Sebagai contoh mengenai hubungan dagang Amerika Serikat dengan Cina. Trump benar-benar berbalik total, dari mengecam menjadi membela Cina, lalu menyalahkan Obama. Pokoknya, semua salah Obama. Pokoknya, semua kebijakan harus tidak sama dengan Obama. Asal bukan Obama. Itu tegasnya.

Nun jauh disana, di sebarang Samudra Pasifik, hal yang sama terjadi. Tepatnya di Jakarta, ibu kota Indonesia. Kemenangan yang relatif sama dengan Trump, yakni eksploitasi primordialisme dan populisme, penyakit Trump pun menular.

Jika di Amerika sana Trump menggelorakan semua salah Obama dan yang penting bukan Obama, maka di Jakarta dengan derajat yang relatif sama terjadi juga. Di Jakarta, gubernur yang baru menggunakan asal jangan Ahok.

Hal yang paling menonjol dari asal bukan Ahok ini terkait dengan persepsi dan perlakukannya terhadap para pimpinan pelayan publik Jakarta. Jika di masa Ahok, para pelayan publik diperlakukan sesuai dengan makna literalnya. Mereka benar-benar pejabat yang harus melayani rakyatnya. Di masa pemerintahan sekarang, terjadi upayakan pembalikan.

Dalam pemikiran Ahok, pelayanan rakyat ini tidak bergantung kepada waktu yang disesuaikan dengan jam kantor. Pelayanan rakyat dilaksanakan dengan seksama dalam dua puluh empat jam sehari. Untuk dapat melaksanakan ini, program-program dikreasi termasuk alat bantunya semacam Qlue. Qlue menjadi senjata ampuh bagi Ahok, tetapi menjadi ancaman bagi pelayan publik yang merasa jadi 'priyayi.

Ahok tidak mengenal namanya urusan pribadi dan urusan masyarakat. Segala waktu disediakan untuk rakyatnya. Pelayan publik diwujudnyatakan dalam berbagai layanan yang menjadi tugas dari seorang pelayan publik. Salah satu yang fenomenal termasuk penyediaan transportasi publik yang mumpuni, dengan kualitas fisik yang bagus.

Hal lain yang sangat disukai rakyat, setidaknya 70 persen penduduk Jakarta, yakni ketatnya Ahok dengan pengeluaran APBD dan penggunaannya. Kunci dan celah untuk korupsi dihilangkan. APBD dipelototin seperti melihat kuman di bawah mikroskop. Alhasil, banyak pembangunan dapat dicapai dalam waktu singkat. Belum lagi kecerdasan dalam menggunakan dana-dana yang di luar APBD untuk pembangunan. Simpang susun Semanggi menjadi hasil manis dari 'kecerdasan' Ahok dalam memberikan pelayanan publik dengan pemanfaatan dana-dana potensial. Pastinya, didukung oleh regulasi.

Memilih Berjarak

Hal yang menonjol dari pola pelayanan publik Jakarta kini berbeda dengan Ahok,  yakni gubernur Anies 'menolak' bertemu langsung dengan masyarakat yang dilayaninya. Aduan yang dulu dapat dilakukan secara langsung kepada Ahok, harus ditahan di tingkat kecamatan.

Ini berdampak negatif akibat jarak yang menjadi tidak terjangkau. Ini menciptakan persepsi betapa sulitnya berhubungan dengan pemimpinnya. Tidak seperti dulu. Aduan bisa langsung ditangani secara langsung. Mungkin ini terkait dengan slogan, jika bisa tidak repot, kenapa harus repot. Jika bisa membangun jarak, kenapa harus dekat.

Dengan pelayanan seperti ini tentunya masalah tidak akan dapat segera ditangani. Berjenjangnya keputusan dan juga tidak adanya wewenang Camat dalam memerintah dinas terkait.  Ketika Ahok mendapatkan aduan dari masyarakat, dengan mudahnya beliau memerintahkan dinas terkait. Urusan bisa selesai dengan cepat.

Dengan berjaraknya Anies dengan masyarakatnya, besar kemungkinan akan sangat sulit bagi mereka untuk menemuinya. Mungkin nantinya akan ada proses seleksi untuk dapat menemuinya. Selayaknya seorang priyayi di zaman dahulu.

Pola seperti ini tentunya tidak akan merepotkan beliau. Tidak akan ada diskusi di Balai Kota dengan masyarakat yang memiliki persoalan. Memang seorang priyayi selayaknya harus dipuji dan tidak perlu direpotkan.

Untuk tidak repot, maka jarak harus dibentangkan sejauh mungkin. Kalau aduan ke kepala dinas, maka jaraknya dengan rakyat masih terlalu dekat. Maka kecamatan manjadi penerima aduan masyarakat. Tidak perlu dibantu alat seperti Qlue. Camatnya bisa makin dekat dengan rakyat dan mungkin dengan gubernur sendiri. Qlue harus dimatikan, karena alat itu sangat mendekatkan dirinya dengan rakyat.

Tambah Kenikmatan

Gubernur terkini itu mungkin tipe yang sangat mementingkan kebersamaan. Tetapi tentunya kebersamaan yang tidak harus merepotkan. Untuk itu, jumlah tim gubernur yang sepertinya mirip think thank yang bertujuan untuk membantu percepatan pembangunan di Jakarta, dilipatgandakan.

Sebelumnya, hanya 6 orang anggota Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) ini. Sekarang akan mencapai 60 orang. Malah kabarnya menjadi 74. Jumlah anggota bertambah 10 kali lipat, jumlah anggaran berlipat 12 kali lebih. Dari Rp. 2,3 milyar menjadi Rp. 28,99 milyar. Partai pendukungnya, PKS, mengatakan ini realistis. Pastinya.

Di samping itu, untuk menggenapkan kepriyayian dari para pejabat di Jakarta, Anies juga berupaya membahagiakan anggota DPRD. Anggota yang dalam masa Ahok merana ini, karena tidak bisa makan lobster, sepertinya di zaman Anies akan mendapatkan impiannya.

Gimana tidak dapat. Anggarannya pun dinaikkan berlipat. Tanpa perlawanan sama sekali dari gubernur. Jika orang senang, kenapa harus dibuat repot. Mungkin itu semboyan gubernur. Tetapi, dibuat senang untuk mempriyayikan mereka.

Anggaran yang akan diberikan naik hingga 100 persen. Bayangkan, tanpa perlawanan, anggaran naik dua kali lipat. Jangankan cuma lobster, makanan sekelas Kaviar pun mungkin akan dapat dibeli. Belum lagi, untuk menjadi lebih priyayi, maka air mancur harus dihadirkan. Bukankan di keluarga kaya raya harus ada air mancur. Maka mengalirlah juga anggaran sebesar Rp. 650 juta.

Disamping itu, priyayi juga tidak boleh bau. Ruangan harus tetap wangi meskipun tidak pernah dipakai untuk membahas peraturan yang meningkatkan kesejahteraan rakyat kecuali kesejahteraan sendiri. Untuk ini anggaran sebesar hampir Rp. 350 juta dikucurkan untuk membeli refill pewangi ruangan. Jangan marah, itu perlu menjaga kepriyayian mereka.

Melengkapi semuanya, baru-baru ini setidaknya dari Wakil Gubernur, memberikan kewenangan kepada RT untuk memungut uang Rp. 100 ribu dari tiap keluarga untuk membersihkan selokan. Uang itu akan, katanya, digunakan untuk mengontrak kontraktor yang bertanggung-jawab untuk membersihkan lingkungan.

Kenapa bukan PPSU? Mengurus karya bekas Ahok itu merupakan sesuatu yang harus dihindarkan. Sialnya, pungutan itu sukarela. Ini uang masyarakat mau digunakan untuk kepentingan publik, tetapi tidak ada aturannya. Gimana ini Tuan Gubernur? Ini bukan soal seratus ribunya. Pertanggung-jawabannya gimana?

Akh, lupa! Jangan-jangan jika dimintakan pertanggung-jawaban malah akan merepotkan. Bukankah priyayi tidak boleh repot. Mereka harus merasakan nikmat dan rakyat harus mulai terbiasa dengan melayani mereka. Tidak boleh sama dengan masa Ahok.

Di masa Ahok, mereka sudah sangat kelelahan dan kekeringan. Jadi, tidak ada salahnya kalau kepriyayian mereka dikembalikan. Caranya, jarak dijauhkan, naikkan anggaran dan tentunya berikan kesempatan memungut sesuka hati. Menjadi itu priyayi harus nikmat dan tidak boleh repot. Harus juga wangi semerbak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun