Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rekonstruksi Realitas Individu di Zaman "Tsunami" Informasi

13 November 2017   23:12 Diperbarui: 14 November 2017   04:00 1730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Realitas sangat tergantung pada apa yang diyakini terkait nilai-nilai, norma-norma, keyakinan-keyakinan, pengetahuan dan pemahaman. Sumber: cnn.com

Hamburan informasi di jagad maya seperti tsunami yang memasuki lorong-lorong kehidupan setiap manusia. Tsunami ini membawa berbagai benda yang menghantam masuk tanpa permisi. Benda-benda ini mengakibatkan gangguan serius masing-masing individu. Ada kalanya, seseorang menjadi bingung ketika dihadapkan pada kenyataan seperti ini.

Keterbatasan kemampuan dan juga waktu untuk menerima apa pun yang masuk menjadi penentu bagaimana seseorang memperlakukan informasi-informasi itu. Ada yang pada titik tertentu mual dengan kenyataan ini. Berperilaku apatis menjadi pilihan. Tetapi menjadi sendirian tidak juga mengenakkan.

Ditambah, dorongan untuk selalu menjadi bagian masyarakat luas dengan terkoneksi membuat penolakan itu diabaikan. Terikat dan masuk kembali dalam limpahan dan pusaran informasi yang tidak berhenti menghempas.

Selayaknya tsunami, informasi yang masuk beragam dan tidak selamanya menjadi sebuah kebenaran. Kebenaran yang hakiki tidak dapat dikonfirmasi dari sepotong berita yang muncul begitu saja. Perlu upaya untuk mencari dan memverifikasinya.

Sering tidak mudah untuk melakukannya. Gelombang masuk informasi menjadi semacam arus liar yang tidak kunjung berhenti. Manusia akhirnya harus berjuang untuk tetap mengambang dalam pusaran itu. Terkait kebenaran tadi, pada akhirnya tidak akan dilakukan cek dan recek, verifikasi.

Di samping butuh waktu dan mungkin biaya, tidak jelas juga apakah data tambahan itu benar atau tidak. Bagaimana kita mengatakan bahwa informasi penjelas itu valid? Apakah jika sumbernya dari akademisi kemudian menjadikannya benar? Apakah jika sumbernya pemerintah juga menjadikannya sah? Akademisi kita sudah lama 'menjual' diri. Pemerintah tidak selalu bisa bicara jujur. Pemerintah didikte oleh keadaan dan dinamika masyarakat serta politik.

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk tidak hanyut dalam tsunami informasi itu? Bagaimana sebuah perilaku diciptakan oleh seorang individu menyikapi informasi sebagai suatu kebenaran? Apakah realitas yang menjadi kebenaran bagi setiap individu? Apakah kebenaran hikiki yang menjadi dasar? Atau ada hal lain yang menjadi basis bagi seseorang untuk menentukan mana realitas dan mana yang bukan? Mana kebenaran dan mana yang bukan?

Realitas dalam konteks tulisan ini dikaitkan dengan realitas maya dan juga realitas nyata. Sebuah kejadian harus diletakkan dalam suatu kerangka untuk dapat dimaknai. Sebuah kejadian menjadi sebuah realitas atau tidak harus terlebih dahulu dimasukkan dalam sebuah kerangka berfikir yang memuat nilai-nilai dan norma-norma yang dipegang. Pengetahuan juga menjadi basis dalam cipta realitas ini.

Seseorang akan menerima sesuatu sebagai sebuah realitas jika sebuah informasi itu sejalan dengan nilai dan norma yang diyakini. Bisa saja, sebenarnya sebuah peristiwa adalah sebuah realitas, tetapi menjadi berbeda makna dan bukan menjadi realitas bagi seseorang karena tidak sejalan dengan nilai yang dipahami, dan diyakini serta pengetahuannya.

Sebagai sebuah misal. Jokowi telah memerintah dalam waktu tiga tahun. Banyak hal yang sudah dilakukan dalam jangka waktu relatif singkat dibandingkan dengan pemerintahan di banyak masa sebelumnya.

Pada kenyataannya, terdapat dua pendapat di masyarakat. Keduanya memiliki pandangan tersendiri. Pandangan yang menciptakan dua realitas. Dua realitas di masyarakat yang dibentuk dengan masing-masing argumentasi. Ini bukan soal benar atau tidak. Ini lebih bagaimana proses yang terjadi sehingga ada dua realitas yang terbentuk di dalam pandangan masyarakat tersebut. Basis yang berbeda sehingga tercipta dua realitas. Realitas yang direkonstruksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun