Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kitalah yang Menciptakan Koruptor

1 Mei 2017   22:46 Diperbarui: 2 Mei 2017   10:32 1879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: megapolitan.kompas.com

Di kantor kelurahan, untuk sekedar fotokopi dokumen, seseorang rela saja memberikan uang ‘lelah’ kepada petugas. Pekerjaanya itu seberanya tanggung-jawabnya. Tetapi uang itu tetap saja diberikan. Rasanya ada yang mengganjal, jika tidak ditambahi selembar Rp. 20 ribuan untuk jasa fotokopinya.

Perkara memberikan karena tidak enak hati itu juga terjadi dimana saja. Di kantor-kantor pemerintah terjadi sejak dari dahulu kala. Mulai dari tingkat kelurahan hingga ke pusat pemerintahan. Mulai dari RT hingga konon katanya menteri. Ada sesuatu yang kurang jika pemberian uang kecil itu tidak mengikuti ucapan terimakasih. Bahkan untuk pekerjaannya sekalipun, seorang petugas di kantor pemerintah diberikan uang lelah atau tips.

Kebiasaan ini tentunya menjadi sebuah budaya. Budaya ini kemudian bermetamorfosis menjadi lebih masif baik dari segi kejadian maupun nilainya. Petugas di kantor pemerintah itu mengerti sekali ternyata jasanya dan posisinya dapat dimanfaatkan menghasilkan pendapatan sampingan. Pendapatan sampingan yang justru melebihi gaji bulanan.

Dalam tingkatan yang lebih tinggi, tentu uang lelah ini menjadi berlipat-lipat. Awalnya hanya dari pemberian, kemudian berkembang menjadi mengakali proyek untuk mendapatkan ‘tips’ tadi. Beranak pinak hingga puluhan tahun, praktek-praktek ini berkembang mengikut perjalanan jaman. Para pelaku tidak takut dengan hukuman, karena memang praktek korupsi ini sangat menggoda.

Jika kemudian ada yang tidak ikut-ikutan berperilaku menyimpang ini, kecenderungannya orang tersebut akan menjadi orang asing diantara orang-orang yang dikenal. Bahkan, beberapa memilih untuk menghindar dari praktek buruk itu. Mereka memilih untuk keluar dari bagian yang koruptif. Mereka memilih mengundurkan diri dari kantor pemerintah dan menjadi pekerja mandiri.

Pandang Salah Kaprah Terkait Pejabat

Perilaku koruptif para pejabat itu mendapatkan tempat yang layak di masyarakat. Hal ini ditemukan dalam pandangan masyarakat yang salah kaprah tentang pejabat. Sejak dulu masyarakat selalu memiliki pandangan bahwa pejabat kaya raya sebagai sesuatu yang wajar. Pejabat yang tidak kaya akan mendapatkan pandangan yang aneh di mata masyarakat. Tidak mungkin pejabat tidak kaya raya. Namanya juga pejabat pasti kaya raya. Demikianlah cara pandang yang bersemayam di masyarakat.

Pandangan itu mengakibatkan perilaku pejabat semakin menjadi-jadi. Masyarakat tidak berfikir kritis atas keadaan yang sebenarnya tidak wajar. Pendapatan pejabat itu dibandingkan dengan kekayaannya tentunya tidak sebanding.

Kita ambil contoh kasus Bupati Madiun dan mantan kepada dinas perhubungan DKI Udar Pristono. Kedua mantan pejabat ini memiliki harta hingga Rp. 250 milyar. Dengan gaji pegawai negeri tentunya kekayaan yang ada itu sangat fantastis dan tidak mungkin. Belum lagi gaya hidup berkelas dan kebutuhannya yang banyak, yang pastinya perlu biaya tinggi pula. Pendapatannya dibandingkan pengeluarannya seperti air dituangkan ke lautan. Tidak sebanding. Jomplang.

Tetapi nyatanya, masyarakat maklum saja jika pejabat itu mengendarai Land Rover berharga milyaran rupiah. “Wajar saja, tokh!” guman masyarakat dalam hati. “Pejabat!”. Lalu, masyarakat menerima saja ketika seorang pejabat ‘nyawer’ besar di sebuah konser tunggal, misalkan.

Akibatnya, jika dilihat data Komisi Pemberantasan Korupsi yang dirilis pada tahun Desember 2015, kasus korupsi dikuasai para anggota DPR, kepala pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota serta pejabat-pejabat pemerintah. Pada laporan 2016 memang terjadi penurunan tindakan. Tetapi, jumlah laporan tindak pidana korupsi yang layak ditindaklanjuti KPK mencapai 1.093 kasus dari total 1583 kasus yang dilaporkan. Keterbatasan tenaga KPK bisa menjadi alasan penurunan penanganan kasus korupsi. Ini baru di KPK saja, belum yang ditangani kepolisian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun