Mohon tunggu...
Taufik Rohmatul Insan
Taufik Rohmatul Insan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca (walau jarang) Novel, Cerpen, Puisi dan Esai Politik, Hukum, sejarah dan Kebudayaan

Setiap Detik Adalah Kisah Kehidupan. Setiap Manusia Adalah Aktornya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kabajikan Jalan Mencegah Perpecahan

11 Agustus 2022   13:35 Diperbarui: 11 Agustus 2022   13:48 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: twitter @archillect

Siapa yang tidak mengenal  KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa dengan Gus Dur presiden ke 4 Indonesia. Meski sosoknya kini sudah tidak ada bersama kita, melalui jasanya, orang banyak mengenal sebagai presiden yang toleran, demokratis, pluralis, dan humanis, atau sebagai Bapak Pluralisme dan Bapak Toleransi di Indonesia. Walaupun, tidak jarang sosoknya yang teramat plural dan toleran itu, justru mendapatkan pertentangan dan diperdebatkan oleh beberapa pihak.

Sebagai seorang presiden yang menduduki jabatan eksekutif tertinggi di Negeri ini, tentu memiliki kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan skala nasional. Salah-satunya kebijakan yang dianggap kontroversial pada masanya, yaitu kebijakan untuk memperjuangkan Tahun Baru Imlek bagi warga Tionghoa di Indonesia. Jika kita pahami secara luas, konklusi dari kebijakannya merupakan representasi dari nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang dijunjung tinggi di Republik ini, terlebih Indonesia merupakan negara yang majemuk.

Sama-sama kita ketahui, sebelum Gus Dur menjadi presiden, bahwa selama kurun 1968-1999 melalui regulasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, perayaan Tahun Baru Imlek dilarang untuk dirayakan di khalayak umum. Lebih tragisnya, Inpres tersebut tidak hanya mencakup pelarangan Imlek, tetapi segala hal yang berbau Tionghoa juga dilarang kemunculannya di publik.

Sedangkan, bagi Gus Dur; Imlek dan tradisi Barongsai merupakan bagian dari kebudayaan yang hidup di tanah Nusantara, sehingga, jika dikelola dengan baik dan tepat, dapat menjadi sarana untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan bukti keberagaman tanah Nusantara.

Maka, pada tahun 1999 ketika Gus Dur menjabat presiden, dia mencabutan Inpres 14/1967, sehingga masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapat haknya untuk merayakan Imlek. Selain itu, berbagai kebudayaan yang melekat pada warga Tionghoa, seperti Barongsai dipertontonkan di khalayak ramai dan hingga saat ini dikenal seluruh masyarakat Indonesia. Di sinilah salah satu letak keistimewaan sosok Gus Dur, dengan pemahamannya yang universal bahkan terkadang dianggap kontroversial itu, rupanya dia sedang berusaha menghindarkan negara (pemerintah) dari menciderai nilai-nilai Pancasila yang dijunjung tinggi di negeri ini, sehingga tidak berpotensi melukai perasaan anggota (warga) dari kelompok besar sebagai bangsa, negara Indonesia.

Bagi saya, sikap dan keputusan Gus Dur mencerminkan bahwa dia tidak hanya seseorang yang dikenal agamais, nasionalis dan sederhana, tetapi dia juga mampu mengaplikasikan nilai-nilai kesetaraan serta kepedulian (kebajikan) terhadap sesama. Pangkatnya sebagai seorang Presiden yang beragama Islam yang diketahui sebagai agama mayoritas, tidak menghalangi niat baiknya untuk tetap peduli terhadap sesama yang walaupun mereka berbeda suku, agama, bahasa, dan sebagainya. Karena itu, saya yakin Gus Dur tentu paham, bahwa sikap tidak bijak dalam mengelurkan kebijakan nasional, merupakan akar perpecahan bagi setiap bangsa, terutama berbahaya bagi kemanusiaan.

Refleksi

Setiap orang tentu sepakat, bahwa setiap kebaikan akan berbalas kebaikan pula, pun sama halnya dengan perilaku atau perbuatan seperti mengganggu, merendahkan, meresahkan hingga melakukan kekerasan dan kerusakan kepada ciptaan Tuhan -- manusia, binatang dan tumbuhan - lain adalah sesuatu yang buruk dan memiliki timbal balik yang juga sama -- bahkan lebih -- buruknya.

Namun, anehnya, terkadang perbuatan yang dinyatakan buruk, selalu menarik hati bahkan dengan tidak sadar kita lakukan. Contoh yang paling sederhana seperti, ketika kita mengeluarkan sebuah permen dari bungkusnya dan tepat di dekat kita ada gorong-gorong yang terbuka, terkadang dengan tidak sadar kita akan langsung membuang sampah bekas bungkus permen itu ke gorong-gorong tersebut.

Padahal jika kita renungkan sejenak, ketika perilaku tersebut dilihat oleh orang lain, akan menjadi contoh buruk bagi pembentukan karakter manusia -- terutama anak-anak -- lainnya. Selain itu, perbuatan buruk (buang sampah sembarangan) juga akan memiliki dampak negatif kepada lingkungan jika dilakukan terusmenerus dalam jangka waktu yang panjang.

Karena begitu menarik hati dan kadang membuat kita tidak sadar saat melakukannya, dalam agama Islam, Allah Subhanahu Wa Ta'ala (Swt) sampai-sampai menurunkan firmannya kepada Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wasalam (saw) -- untuk disampaikan kepada seluruh manusia - melalui ayat, "Katakanlah (Muhammad), tidaklah serupa sesuatu yang buruk dengan yang baik, meskipun keburukan itu menarik hatimu." (QS. Al-Maidah: 100).

Tentu bukan perkara mudah bagi kita untuk terus menyiram dan memupuk kebiasaan baik -- seperti bertegur-sapa, sekadar tersenyum apalagi menjaga lingkungan dan menghormati serta bersikap toleran terhadap perbedaan yang ada -- agar tumbuh subur dan menghiasi kepribadian kita. Seperti halnya sosok Gus Dur yang memperjuangkan kebajikan melalui kebijakannya untuk mencabut Inpres No. 14/1967 yang mendapatkan kritik dan cemooh dari berbagai pihak, padahal tujuannya jelas untuk kebaikan semua warga negara agar tidak terjadi perpecahan.

Mark Manson seorang penulis buku terlaris versi New York Time dan Globe and Mail, dengan judul " Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat" (terjemah bahasa Indonesia-red, 2018)" mengatakan, bahwa setiap orang sebenarnya dilahirkan dengan rasa kepedulian dan menganggap semua hal berarti dan menarik hati. Maka, sudah semestinya setiap manusia tumbuh dan menua menjadi pribadi yang peduli terhadap nilai kebaikan. Tinggal bagaimana pendidikan keluarga dan lingkungan serta pengalaman yang membentuk karakternya bisa terjamin atau tidak oleh nilai-nilai kebaikan universal.

Saya meyakini, bahwa perubahan itu pasti. Dan sosok Gur Dur bisa menjadi contoh yang tepat bagi kita untuk terus mencoba menjaga nilai-nilai kebaikan terus tumbuh dan berkembang dalam diri kita dengan tanpa menghilangkan kritik dan cemooh dari pihak lain. Terutama, kita bisa memperlajarinya dari bagaimana didikan keluarganya dahulu, cara dia mengenyam pendidikan di sekolah formal dan non-formal (pesantren), cara dia bergaul dengan berbagai lingkungan sosial, dan yang paling penting adalah tentang kebiasaan sosok Gus Dur dalam memandang setiap permasalahan yang ada, selalu menggunakan sudut pandang kebaikan universal, bahwa kebajikan harga mati untuk kemanusiaan.

Kebajikan mettasik, maybank finance, blog competition.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun