Mohon tunggu...
Taufik Rohmatul Insan
Taufik Rohmatul Insan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca (walau jarang) Novel, Cerpen, Puisi dan Esai Politik, Hukum, sejarah dan Kebudayaan

Setiap Detik Adalah Kisah Kehidupan. Setiap Manusia Adalah Aktornya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Muadz dan Kucing

31 Juli 2022   23:49 Diperbarui: 1 Agustus 2022   00:00 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Pexels

Sebagaimana hari libur pada umumnya, tidak banyak yang bisa aku lakukan selain merapihkan kasur lalu melirik sederet buku yang terbaris memanjang di lemari ruang tengah rumah. Jika ada yang menarik mata seketika, maka akan menjadi pengisi waktu libur yang bahagia. Tetapi pagi itu tidak ada yang merayu pandangan.

Karena tidak mendapatkan ketertarikan terhadap buku, maka Handphone (Hp) akhirnya menjadi teman pengisi waktu. Meski sebenarnya, banyak waktu ku yang habis bersama alat elektronik itu. Cerpen Mingguan Kompas yang aku temukan di layar Hp, akhirnya menarik mata. Cerpen itu berjudul "Tragedi Cinta Amangkurat" karya Ade Mulyono.

Karena jenuh betemankan sebuah Hp di kamar, akhirnya aku memutuskan untuk keluar mencari udara yang mulai menghangat di teras rumah. Tiba di bangku teras rumah, rupanya sudah ada anak kedua kakak saya bernama Muadz, sedang bermain-main dengan tumpukan permainan yang serba plastik.

"Mang, si Moni mati. Bau bangke," celetuk Muadz ketika melihat ku menghampiri.

"Mana, kok mamang gak nyium bau bangke?" Aku duduk di atas sofa tua sembari terus menatapnya bermain.

"Tuh liat geh di kolong," ucap Muadz dengan tangah mengarah ke bawah sofa tua yang sedang aku duduki.

Rupanya benar. Di bawak sofa itu tergeletak tak bernyawa, seekor kucing betina dengan bulu berwarna putih yang bercampur dengan warna cokelat dan hitam.

---

Kabarnya, Moni, Kucing kecil kesayangan keluarga itu, sempat terserempet pengendara roda dua, sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir di bawah sofa di teras rumah.

Setelah ditemukan tak bernyawa, aku langsung mencari cangkul untuk menyiapkan sebuah lubang pemakaman di halaman rumah. Di tengah proses mencangkul, Muadz, putra kedua dari kaka ku tidak berhenti merecoki proses penggalian lubang.

"Mang, si Moni mah mati digigit Babi, loh," Celetuk Muadz sembari tangannya tidak berhenti menguar-uar gundukan tanah.

Aku sempat kaget dengar kata Babi keluar dari mulut lucunya itu, tetapi aku tidak begitu menghiraukan ucapan anak yang baru berusia 4 tahun itu. Namanya anak kecil, imajinasinya sangat-sangat tidak terbendung, entah kata itu ia dapat dari mana.

"Dede nanti mau nabung. Terus beli si Moni lagi ke pasar sama bapak. Yang gede si Moninya. Si Moni kan item," ia kembali mengeluarkan isi kepalanya dengan lugas dan jelas.

Tidak memakan waktu lama, lubang untuk kuburan Moni sudah selesai terbentuk. Aku bergegas membawa Moni yang tergeletak di atas teras rumah sedari tadi untuk segera dimasukan ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Prosesi pemakaman dimulai. Gundukan tanah sedikit demi sedikit mulai berpindah tempat. Muadz, entah karena iba atau berniat ngerecoki pemakaman, tidak berhenti menguar-uar tanah dengan tangannya.

"Mang nanti dede sama aa sama bapak mau berdoa. Lebaran," celetuk lucunya diakhir pemakaman Moni.

---

Cerita Singkat an Padat dan Seketika, 31 Juli 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun