Sebenarnya kalau bicara soal rumah subsidi, maunya sih yang memenuhi kenyamanan kita sebagai calon penghuninya. Jika developer berpikir harga harus mahal, Â sebaliknya kita sebagai konsumen pasti berpikir sebaliknya. Harganya yang terjangkau, cicilannya tidak mencekik, ukuran rumah yang cukup, kualitas bangunan juga oke meskipun harganya miring. Begitu sih maunya konsumen.
Bahkan pertimbangan bukan hanya cukup hanya murah, atau harus nyaman, tapi juga harus strategis, dan layak huni juga. Paling tidak  lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat kita bekerja atau beraktivitas. Selain bisa menghemat ongkos juga bisa menjadi tabungan jika kita punya rencana mengalokasikannya untuk merehab rumah nantinya.
Tapi itu kan harapan atau maunya kita karena kenyataannya banyak rumah subsidi justru masih jauh dari standar ideal tersebut. Sebagian besar dari kita tentu tahu bahwa kehadiran rumah subsidi menjadi peluang bagi mereka yang berpenghasilan rendah atuau pas-pasan untuk bisa punya hunian sendiri. Tapi begitulan, harapan punya rumah yang nyaman dan layak kadang berbenturan dengan fakta-fakta di lapangan.
Salah satu harapan terbesar adalah rumah subsidi berada di lokasi yang strategis. Artinya, tidak harus berada di tengah kota, tapi setidaknya tidak membuat kita kehilangan separuh waktu hidup di jalan karena jarak yang terlalu jauh ke tempat kerja. Kita tentu tidak mau cadangan simpanan tabungan kita justru terkuras untuk urusan transportasi. Pulang pergi ke kantor, sekolah, pasar atau mall, semua butuh alokasi khusus jika rumah tinggal kita jauh aksesnya dari semua titik penting itu.
Tapi justru disinilah problem rumah bersubsidi yang banyak dibangun di pinggiran kota yang sangat jauh dari pusat aktivitas ekonomi. Memang alasannya ya agar semua biaya bisa ditekan, karena harga tanah di pinggiran kota relatif lebih murah. Akibatnya, ya itu tadi, ongkos transportasi justru membengkak dan waktu habis untuk perjalanan. Ini bertolak belakang dengan tujuan awal, rumah murah yang membuat hidup lebih baik.
Hal krusial lain yang kerap luput diperhatikan adalah kualitas bangunan. Meskipun kita memahami bahwa harganya terjangkau, bukan berarti kualitasnya bisa dikompromikan begitu saja. Banyak penghuni rumah subsidi mengeluhkan dinding yang mudah retak, atap yang bocor, hingga plafon yang roboh hanya dalam hitungan bulan.
Konsumen memang terbatas secara pilihan. Tapi bukan berarti harus pasrah menerima rumah yang tidak layak huni. Pemerintah seharusnya memperketat pengawasan terhadap developer---bukan hanya soal legalitas dan ukuran tanah, tetapi juga kualitas fisik bangunan.
Saya ingat dalam kasus rumah bantuan saat bencana tsunami. Masyarakat dapat bantuan rumah, tapi di lapangan yang saya temukan kualitasnya sangat buruk. Kualitas bangunan yang buruk bukan saja dari bahan baku, tapi juga dari bentuknya itu sendiri yang tidak sesuai standar.
Sehingga yang kita temukan, rumah tipe 36 bentuknya hampir jajaran genjang. Plester dinding bergelombang seperti rollercoaster, plafon yang belum serah terima sudah bocor, dan siku bangunan yang tidak tepat. Sehingga lantai keramiknya terlihat aneh.
Sebenarnya harapan kita bisa memiliki rumah bersubsidi, cicilannya jika bisa harus dirancang agar ringan. Tapi memang di lapangan, banyak yang lupa menghitung biaya tambahan, mulai dari biaya perbaikan awal, sambungan air dan listrik, hingga renovasi minor karena kondisi bangunan yang belum siap huni.
Sebab jika dikalkukasi, kadang uang yang kita keluarkan dalam satu-dua tahun pertama hampir setara dengan membeli rumah non-subsidi tipe sederhana. Ini justru menjadi blunder yang aneh. Mau rumah murah tapi maintenance-nya saja sudah keluar ongkos banyak.