Seiring meningkatnya kesadaran global terhadap isu perubahan iklim dan keberlanjutan orang mulai mempertimbangkan segala sesuatunya agar sejalan dengan lestarinya lingkungan, termasuk dalam urusan mudik. Sehingga muncul gagasan Mudik Hijau, sebuah konsep perjalanan mudik yang ramah lingkungan dengan mengurangi jejak karbon, menghemat energi, dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Jika ditelusuri jejaknya, konsep ini terinspirasi dari gerakan green travel atau sustainable tourism, yang mendorong sebuah perjalanan wisata yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Dan ketika kita kaitkan dengan konteks mudik, gagasan ini muncul karena setiap tahun tradisi mudik juga berkontribusi pada meningkatnya polusi udara akibat lonjakan kendaraan bermotor yang dipakai oleh jutaan pemudik.
Kini mudik hijau semakin menjadi perhatian yang intens, bahkan tidak saja oleh para  aktivis lingkungan, serta komunitas pecinta alam tapi juga pemerintah yang mulai mengampanyekan Mudik Hijau sebagai solusi untuk mengurangi dampak negatif mudik massal.Â
Dan ternyata gagasan kampanye ini juga sejalan dengan target net zero emission, yang dicanangkan banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam Pertemuan Paris 2015 Indonesia termasuk negara yang meratifikasi perjanjian tersebut dan mencanangkan untuk mengurangi emisi--zero emisi pada tahun 2060.
Bagi jutaan orang di Indonesia melakukan perjalanan pulang kampung saat Lebaran alias mudik bukan sekedar "ritual" biasa tapi sudah menjadi tradisi. Tradisi mudik ini bukan lagi hanya sekadar perjalanan pulang ke kampung halaman, tetapi juga simbol eratnya hubungan keluarga dan kampung halaman. Rasa rindu yang setahun tertahan akhirnya bisa disalurkan saat libur panjang lebaran.
Persoalannya kemudian adalah, karena pemudik jumlah bukan hanya ratusan, atau ribuan bahkan ratusan ribu hingga mencapai jutaan orang maka banyak hal yang kemudian kita sadari sebagai dampak membuat kita merasa kuatir. Di balik kebahagiaan bertemu sanak saudara, mudik juga membawa dampak besar terhadap lingkungan.Â
Realitas yang paling jelas terlihat adalah peningkatan emisi karbon, karena penggunaan kendaraan pribadi dan publik yang meningkat juga berpengaruhnya pada bertambahnya konsumsi bahan bakar fosil. Belum lagi demi kepraktisan banyak pemudik menggunakan cara praktis mengkonsumsi makanan dan minuman yang menggunakan kemasan plasktik sehingga limbah plastik menjadi masalah yang semakin nyata meningkat pesat selama masa mudik.
Di sinilah konsep mudik hijau diharapkan bisa memberi alternatif solusi. Jadi harapan kita semua kemunculannya bukan sekadar tren, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab terhadap bumi.
Mengapa harus Mudik Hijau?, karena prinsipnya yang sejalan dengan keinginan kita untuk tetap menjaga lingkungan. Misalnya sebisanya memilih menggunakan transportasi publik, karena pilihan tersebut bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang menyebabkan kemacetan dan emisi karbon tinggi.
Dengan banyaknya alternatif pilihan kendaraan bisa saja dengan persiapan yang baik para pemudik bisa memilih kendaraan ramah lingkungan – Seperti kendaraan listrik atau berbagi kendaraan (carpooling) untuk mengurangi jumlah kendaraan di jalan. Dan yang harus menjadi kesepakatan kita bersama adalah bagaimana para pemudiak bisa mengurangi sampah plastik – dengan cara membawa botol minum dan wadah makan sendiri saat perjalanan. Selain bisa menghemat pengeluaran juga berkontribusi penting bagi lingkungan kita.
Mengapa Mudik Hijau Penting?
Mneurut data yang dirilis media Kompas, Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi memprediksi sebanyak 146,48 juta jiwa atau lebih dari 52 persen dari total penduduk Indonesia akan melakukan pergerakan selama libur Lebaran 2025.
Tahun 2024 mencatat rekor jumlah pemudik tertinggi, mencapai hampir 180 juta orang. Namun, survei terbaru memperkirakan bahwa pada 2025, meski jumlah pemudik mengalami sedikit penurunan namun angka ini tetap jauh lebih tinggi dibandingkan periode sebelum pandemi.
Dan dengan mudik dalam skala besar tersbut akan sangat berdampak signifikan pada lingkungan. Menurut data Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik yang mayoritas menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil dan motor, konsumsi bahan bakar fosil melonjak drastis, menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Belum lagi limbah plastik dari kemasan makanan dan minuman instan yang meningkat tajam sepanjang perjalanan.