Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kritik terhadap Vlogger Kuliner Pengikut Tren, antara Viralitas dan Etis

16 Maret 2025   23:46 Diperbarui: 27 Maret 2025   15:08 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kreator konten mukbang. (Freepik/tirachardz via kompas.com)

Dalam era digital yang semakin berkembang, vlogging menjadi salah satu cara bagi banyak orang untuk berbagi pengalaman mereka, termasuk dalam dunia kuliner. 

Kadangkala karena mengejar viralitas sebagai bagian dari algoritma dunia digital di medsos, seorang vlogger kuliner seringkali melanggar yang tabu demi tujuan tersebut. 

Dengan "kebutuhan" orang mendapatkan informasi yang cepat, sehingga seorang vlogger bermanfaat bisa membagikan rekomendasi tempat makan, jenis makanan, dan pengalaman menikmati kuliner, dan kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita. 

Harus diakui kita sering mengandalkan vlog kuliner sebagai referensi dalam mencari tempat makan yang menarik, aman, sehat, dan tentunya terjangkau. 

Namun, fenomena ini juga membawa tantangan baru, terutama bagi mereka yang hanya berfokus pada viralitas daripada keakuratan dan kebaikan dalam memberikan informasi.

vlogger kuliner juga harus bijak-kompas lifestyle
vlogger kuliner juga harus bijak-kompas lifestyle

Viralitas yang Mengaburkan Tujuan 

Vlog kuliner memang kerap kali mengundang perhatian dengan cara-cara yang unik dan menarik. Tak jarang, vlogger kuliner berlomba-lomba membuat konten yang mencolok, dengan tujuan agar video mereka mendapat banyak penonton dan komentar. kadang-kadang terlibat sangat berlebihan, terutam jika sudah menyangkut-endorsment karena harus mengikuti tuntutan "pengorder".

Namun, dalam keinginan untuk viral, banyak vlogger yang terjebak dalam jebakan sensasionalisme yang hanya mengutamakan klik dan jumlah tayangan, tanpa mempertimbangkan kualitas dan kebenaran informasi yang mereka berikan. Akibatnya, kita sebagai penonton sering kali disuguhkan dengan rekomendasi tempat makan atau jenis kuliner yang belum tentu aman, sehat, atau terjangkau.

Penyajian makanan yang sangat berlebihan atau bahkan eksentrik, tanpa penjelasan yang memadai mengenai bahan atau cara penyajiannya, bisa menimbulkan kebingungan bagi penonton. Apalagi jika vloggernya datang dari latar yang tidak siap kapasitas sebagai seorang yang semestinya mereview--setidaknya dengan benar.

Misalnya, ketika vlogger menunjukkan makanan dengan tampilan yang sangat menarik tetapi tidak memberikan informasi tentang kandungan gizi atau kualitas bahan makanan tersebut, banyak penonton yang bisa terjebak dalam bayang-bayang popularitas tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan.

Atau menjadikan makanan tersebut sebagai rekomendasi tapi justru membuatnya rugi dari sisi finansial dan juga kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun