Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cancel Culture di Sekolah, Sebuah Pembelajaran Menyikapi Fenomena Sosial

13 Februari 2025   07:56 Diperbarui: 27 Februari 2025   18:49 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
berdiskusi intens di kelas-kompas.com

Sebenarnya dalam proses belajar-mengajar yang selalu dilakukan para guru di kelas, kita selalu mendorong kelas yang kondusif sebagai ruang belajar tentang banyak hal selain pelajaran sebagai muatannya. Membangun karakter adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses tersebut. 

Di dalam kelas yang aktif, sebuah diskusi yang memicu perdebatan sengit saja bisa menyebabkan seorang siswa yang mengungkapkan pendapatnya secara keras akan mendapat respon negatif dari teman-temannya.

Begitu juga ketika seorang guru mengungkapkan pendapatnya yang mungkin dianggap kontroversial atau tidak sensitif terhadap isu tertentu, misalnya terkait budaya. Misalnya, mengomentari tradisi yang berkaitan dengan hak-hak minoritas yang mungkin diartikan secara salah oleh sebagian siswa.

suasana diskusi seru di kelas bersama guru--sumber gambar kompas.id
suasana diskusi seru di kelas bersama guru--sumber gambar kompas.id

Bukan tidak mungkin kedua kasus itu berkembang menjadi isu yang besar di kalangan sekolah secara daring, karena keterlibatan cancel culture di dalamnya.

Dalam wujudnya yang sederhana, cancel culture telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Baik dalam bentuk doxing, atau penghentian dukungan, call-out culture atau budaya memanggil berupa teguran kepada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu kesalahan.

Cancel culture di sekolah bisa terjadi dalam berbagai bentuk, perundungan daring (bullying online), pengecualian sosial, hingga kampanye untuk menghapuskan hak seseorang untuk berbicara atau berpendapat. 

Meskipun tujuan awal dari cancel culture seringkali untuk memberikan pelajaran atau mengkritik perilaku yang dianggap tidak pantas, dampaknya bisa sangat merugikan, terutama bagi siswa yang sedang berkembang dan belajar untuk menemukan identitas mereka.

Fenomena ini bergerak lebih cepat di media sosial, di mana siswa bisa dengan mudah melakukan penyebaran informasinya untuk membentuk opini dan memperngaruhi siswa lainnya dan membuat tekanan bagi teman sebaya yang diserangnya, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap individu yang diserang.

Selain itu, siswa yang terlibat dalam cancel culture bisa saja merasa bahwa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang benar dengan mengkritik atau menghukum seseorang atas kesalahan tertentu.

Namun, mereka mungkin tidak menyadari bahwa dalam beberapa kasus, mereka malah berpartisipasi dalam persekusi sosial yang tidak adil atau berlebihan. Hal ini bisa memengaruhi rasa percaya diri dan kesehatan mental orang yang menjadi sasaran.

ilustrasi diskusi di kelas--sumber gambar kompas.com
ilustrasi diskusi di kelas--sumber gambar kompas.com

Membangun Penguatan Karakter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun