Berinteraksi dengan kehadiran keponakan menjadi momen yang tidak saja menarik tapi juga penuh dengan pembelajaran. Apalagi kalau rewel, tapi yang seru adalah menaklukkannya dengan hati. Dulu sebelum menikah, bermain bersama keponakan menjadi cara menarik belajar tentang karakter anak.Â
Meskipun lucu adakalanya mereka juga nakal bahkan bandel seperti halnya anak-anak pada umumnya. Namun dibalik kelucuan dan "kenakalan" anak-anak tersebut keponakan menjadi peluang dan kesempatan kita untuk belajar.
Teman saya sewaktu kuliah dikenal sangat penyayang anak meskipun ia belum menikah. Darimana kami tahu sifatnya tersebut? Tentu saja dari interaksinya dengan para keponakannya.Â
Setiap kali kami pulang kuliah dan mampir ke rumahnya, sambutan yang paling mesra justru dari para keponakannya. Mereka menganggai teman saya itu sebagai tante yang penyayang. Bukan karena menyogok mereka dengan hadiah, tapi dengan kasih sayang yang tulus.
Saya sering melihatnya dengan senang hati membantu mereka belajar menggambar, atau bercerita monolog dengan mimik dan suara yang lucu. Bahkan bukan para keponakannya saja yang jatuh hati, kami semua juga begitu. Sudah bisa tuh cari pasangan, begitu kami selalu menggodanya. Sudah cocok jadi ibu, ujar teman yang lain.
Saya juga belajar dari momen-momen berkesan itu. Dua keponakan saya, Meutuah dan Ceudah meskipun tidak bandel tapi seringkali menguji kesabaran. Mulai dari pertanyaan yang tidak ada habis-habisnya, dan cenderung cerewet hingga permintaan untuk menyanyi, yang membuat saya mau tak mau harus belajar meskipun suara saya pas-pasan. Tapi dari tingkah polah lucu dan menggemaskan itulah saya belajar banyak tentang perhatian, dan kasih sayang.
Ternyata dalam praktiknya saya juga memiliki keponakan yang mengalami sakit tertentu. Ini juga bisa menjadi pembelajaran bagi kita untuk mengambil hikmahnya. Â
Misalnya keponakan yang terlalu dimanjakan sehingga berinteraksi dengan gadget berlebihan. Atau orangtua yang menjadikan gadget sebagai solusi menenangkan anak saat tantrum yang tidak disadari menjadi pembiasaan buruk yang bisa berdampak negatif.Â
Ada keponakan yang orangtuanya membiarkan anaknya bermain gadget selama ibu dan ayahnya bekerja, dengan alasan agar tidak rewel, pada akhirnya justru mengalami keterlambatan berbicara karena terbiasa mendengar dan melihat gadget daripada diajak berinteraksi dengan orang tuanya. Â
Saya merasa tertantang ketika harus membuatnya "berbunyi" dan bisa berbicara lancar. Apalagi setelah diagnosa dokter menyebutkan bahwa keponakan itu sama sekali tidak bermasalah dengan pendengarannya.Â
Karena dugaan awal orangtuanya adalah gangguan pendengaran Sensorineural. Gangguan pendengaran yang terjadi akibat kerusakan pada telinga bagian dalam-koklea atau saraf pendengaran yang mengirimkan sinyal ke otak, karena gangguan ini biasanya bersifat permanen dan bisa disebabkan oleh faktor genetik, infeksi virus, seperti rubela atau meningitis, paparan suara keras, atau masalah selama kehamilan atau kelahiran.
Atau keponakan dengan kepribadian atau keterbatasan khusus yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang juga berbeda dan khusus. Ini adalah tantangan dan juga menjadi pembelajaran ketika kita berinteraksi sebagai seorang paman, bibi atau tante dan om-nya.