Mohon tunggu...
Rini DST
Rini DST Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga - Seorang ibu, bahkan nini, yang masih ingin menulis.

Pernah menulis di halaman Muda, harian Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Perlu Perjanjian Pranikah? Belum Cukup Perjanjian Pernikahan?

16 Agustus 2022   21:54 Diperbarui: 16 Agustus 2022   22:27 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay

Perjanjian Pranikah? Wah ... serasa baru diingatkan oleh Kompasiana, bahwa sebelum menikah setiap calon pengantin bisa membuatnya. Aku dan suami sudah menikah 40 tahun lalu, tanpa ada perjanjian pranikah. Alhamdulillah tak ada masalah yang membuat kami menyesal, bahwa dulu tudak membuat perjanjian pranikah.

Seandainya waktu bisa berputar mundur, hingga saat kami menjelang menikah. Dan sudah mengetahui dari Kompasiana, bisa membuat perjanjian pranikah. Aku pun tidak terpikir apa saja yang akan aku tuliskan dalam pernanjian tersebut. Entahlah dengan suamiku, aku tidak berdiskusi terlebih dahulu dengannya sebelum menulis cerita dalam Kompasiana dengan label perjanjian pranikah ini.

Sekarang kami memang sedang ada masalah mengenai hukum pernikahan, yang kami ketahui justru pada saat pernikahan itu terselenggara.

Anak kami menikah dengan WNA. Kata teman yang kebetulan hadir pada acara pernikahan, nantinya kalau orang tuanya meninggal dunia. Hah? Kami meninggal dunia? Negara akan mengambil harta warisannya sebesar 30%.  Tentu saja maksudnya negara Indonesia.

Sampai sekarang aku tidak tahu, apakah masalah ini bisa ditanggulangi dengan adanya perjanjian pranikah. Misalnya perjanjian pranikah yang menyatakan harta terpisah antara suami-istri. 

Tetapi ... kalau dipikir-pikir mungkin lebih baik tidak tahu. Seandainya tahu juga rasanya tetap tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah mungkin membatalkan pernikahan untuk persoalan harta waris?

Tidak mungkin! Menurut aku, perjanjian pranikah tidak perlu. Hanya merepotkan dan harus mengeluarkan biaya yang tidak yakin ada gunanya.

Lebih baik  calon pengantin mencermati betul-betul perjanjian pernikahan. 

*****

Kebetulan aku menjalani masa kecil dalam lingkungan agama Katholik. Aku mendengarkan apa yang dikatakan Romo saat kakakku dan calon suaminya menerima sakramen pernikahan. 

Kepada calon suami, Romo bertanya, "Maukah kamu mangambil (nama calon istri) sebagai istrimu yang sah?"

Kepada calon istri, Romo bertanya, "Maukah kamu mengambil (nama calon suami) sebagai suamimu yang sah?"

Kalau keduanya menjawab "ya", itulah perjanjian pernikahan kedua suami-istri tersebut. Suami-istri memaknai jawaban tersebut sebagai suatu perjanjian pernikahan. Mereka tidak akan pernah selingkuh dan tidak akan mudah bercerai. 

*****

Saat aku menikah, orang tua/wali dari pihak aku dan calon suami melakukan ijab kabul. Sebagai calon pengantin wanita aku mendengarkan dengan seksama, dan melakukan dengan baik makna sebuah pernikahan.

Perjanjian pernikahan dalam agama Islam dihadiri oleh kepala KUA, 2 orang saksi, ayah calon pengantin wanita, kedua calon pengantin yang akan menjadi suami-istri.

Orang tua calon pengantin wanita mengucapkan ijab

Saya nikahkan engkau (nama calon mempelai pria) bin (nama ayah calon mempelai pria)   dengan ananda (nama calon mempelai wanita) binti (nama ayah calon mempelai wanita) , dengan maskawin   dibayar (tunai/utang)

Calon suami secara langsung menjawab kabul

Saya terima nikahnya (nama calon mempelai wanita) binti (nama ayah calon mempelai wanita) dengan maskawin tersebut dibayar (tunai/utang)

Saat itu seorang ayah menerima suami anaknya. Anaknya siap menjadi istri yang baik.  Sebaliknya suami siap bertanggung jawab kepada istri.  Itulah perjanjian pernikahan seorang ayah sebagai orang tua istri dan suami. Suami yang mengucapkan perjanjian, dan istri yang mendengarkan memaknai ijab kabul tersebut sebagai suatu perjanjian pernikahan. Suami-istri tidak akan pernah selingkuh dan tidak akan mudah bercerai. 

Kembali soal negara yang akan mengambil harta waris sebesar 30%. Mereka bisa menghindari dengan menjadi WNI yang baik. Banyak berdoa. Allah Maha Baik, pasti membuat penyelesaian yang baik bagi umatnya yang mohon pertolongan melalui doa. 

Bagi suami-istri, rasa cinta jauh lebih penting dari segala bentuk perjanjian. Perjanjian pranikah tidak perlu. Perjanjian pernikahan sudah cukup membuat langgeng sebuah pernikahan.  

Semoga bermanfaat dan selalu bahagia dalam mengarungi pernikahan.

Bumi Matkita,

Bandung, 16/08/2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun