Enzy menggeleng. "Enggak, ini mau saya antar ke rumah Mak Enap. Sekalian buka bareng di sana."
"Saya boleh ikut?" tanya Ustaz Mahen.
"Hmm, sebaiknya jangan. Takut timbul fitnah kalau berduaan." Enzy berkilah.
"Siapa bilang berdua? Kan kita bertiga?"
Enzy cepat-cepat menutup mulutnya. Sekali lagi dia gagal mencari alasan untuk menolak. Sebelum Ditri protes, Enzy menyeretnya menuju jalan poros.
Sepanjang jalan, mereka bertiga lebih banyak diam. Hanyut dalam pusaran pikiran masing-masing. Bagi Enzy, ini adalah kesempatan untuk mengenal wanita malang itu lebih dalam. Menghibur dan mendampinginya barangkali mampu mengusir kesepian dan mendatangkan tawa Mak Enap.
Seperti sore ini, Mak Enap terlihat bahagia. Air mukanya jujur memberikan pancaran kebahagiaan itu. Ukuran bahagianya ternyata sederhana saja. Tidak muluk apalagi rumit.
"Ustad terima kasih, ya. Hari ini rumah saya rame. Ustad bawa Mbak Enzy."
Enzy melirik pria di sebelahnya. Apakah pria ini juga pernah kemari sebelumnya?
"Semoga kelak, jika kita tua nanti, jangan ada yang mati duluan. Biar tidak mengalami artinya kehilangan."
Enzy menoleh cepat ke arah pemuda jangkung yang berjalan berdampingan dengannya.