"Terlalu rumit bagi kita waktu itu. Maafkan aku. Ini demi kebaikan. Kamu terutama, Nay."
"Aku? Atau kamu?"
"Aku tidak ingin kamu melawan papamu, hanya karena aku. Aku nggak mau, Nay. Betapa egoisnya kalau aku membiarkan itu terjadi."
"Aku tahu kita berbeda. Kamu hanya tidak siap dengan akibat dari perbedaan itu."
"Nay-Nay, dengarkan aku. Kalau saat itu pemikiran kita sedewasa saat ini, kurasa kita bisa saling menguatkan. Tapi waktu itu? Kita masih SMA, Nay. Bisa apa kita tanpa mereka?"
Aku terdiam. Kembali menunduk. Aku salah. Memandang masalah bukan pada waktunya. Seharusnya aku juga bersikap sama seperti dirinya saat itu. Bukan cara pandang sekarang. Aku menghela napas pelan.
"Aku datang untuk meluruskan mengapa aku pergi. Bukan karena berbeda, Nay. Karena aku ... harus mengalah. Menyayangi kamu bukan selalu dengan memiliki kamu."
Aku kembali terdiam, menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Ada semacam dorongan kuat di dada yang berhasil mengubah irama napasku. Belum lagi dorongan di kedua pelupuk mataku. Oh, jangan! Jangan sampai ia tahu aku menangis pada pertemuan yang terlalu mendadak ini. Aku tidak siap menerima kehadirannya yang tiba-tiba. Apalagi penjelasannya.
Dua orang yang pernah aku kira akan melengkapi hidupku berakhir luka. Keduanya tiba-tiba hadir dalam waktu yang bersamaan. Apa yang sedang Allah rencanakan untuk takdirku?
Aku masih bergeming. Pria di depanku mengulurkan selembar tisu kepadaku. Barangkali dia melihat cairan bening yang menunggu jatuh di pelupuk mataku.
"Kalau aku setiap malam bermohon untuk diberi kesempatan bertemu kamu, mungkin ini jawaban Allah buat doaku. Aku pernah mengecewakan seseorang yang ...."