Deg!
Bukan suara Syifa. Jadi siapa? Aku mendongak lagi, memperhatikan Syifa lagi. Kedua mataku membulat sempurna meminta penjelasan.
Badanku memutar mencari sumber suara. Aku terkesiap. Beberapa detik aku mematung. Bergeming. Mataku menatap sosok yang baru saja Syifa bicarakan. Tersadar aku dari tadi melongo, pandanganku beralih ke Syifa, meminta penjelasan lebih lanjut mengapa makhluk dari planet masa lalu ini sudah berada di dekatku.
Syifa hanya tersenyum kikuk. Alih-alih menjelaskan, Syifa beranjak dari duduknya. "Kalian harus bicara berdua, aku tinggal, ya."
"Syi-Syifa!"
Aku hendak marah, tetapi dia pura-pura tuli dengan panggilanku. Suaraku tertahan, aku tak bisa berteriak memanggilnya. Kafe sedang ramai pengunjung, ditambah hujan yang kukhawatirkan sejak tadi, benar-benar turun dengan deras. Melihatku gugup, Handika mengambil suaranya.
"Assalamualaikum, Nayya."
Aku tidak berani menatapnya. Hanya membalas salamnya lirih, lalu kembali duduk.
"Boleh aku duduk?"
Aku menjawab dengan anggukan. Tanganku gemetar. Mencoba menenangkan gemuruh di dada, tapi tak mudah, tetap saja ruang di sekitarku seperti kekurangan oksigen.
"Aku ganggu kamu?"