"Bisalah, kalau hidayah itu memang datang buat dia. Dan dia bukan main-main sebelum menetapkan hatinya."
"Kamu-kamu kok kayaknya tahu detail. Kamu ketemu sama dia?"
"Nayya, kan sudah kubilang, aku ketemu dan ngobrol banyak sama dia. Eh, dia kirim salam buat kamu. Dari kemarin aku mau ceritakan ini, kamunya yang sibuk terus. Aku susulin ke apartemen kamu malah ke kampung. Ya, baru sekarang aku bisa cerita."
Aku mengangguk pelan. Waktu cepat sekali berputar, meninggalkan banyak cerita. Larikan kehidupan bagaikan slide nyata kini hadir kembali dalam balutan cinta pertama. Cinta---yang barangkali---bukan cinta terbaik.
"Kok melamun?" tanya Syifa menggoda.
"Eng-enggak, kok. Jangan mulai, deh. Itu cuma cerita lama. Cinta masa sekolah yang gak penting. Belum tentu dia ingat. Udah, gak usah diingat. Dia udah nikah, 'kan?"
Kulihat Syifa menggeleng. "Dia cinta pertama kamu, 'kan Nay?"
Aku mendongak, memandang wajah Syifa, lalu menghela napas.
"Cinta monyet."
Aku melanjutkan menulis beberapa catatan kecil di buku. Tanpa menoleh ke arah Syifa sama sekali. Aku berujar, "Cerita lama. Udahlah jangan diusik cerita gak penting itu."
"Bagiku penting, Nay."