Apa Faizal jarang pulang? Ah, seharusnya tidak seperti ini Faizal bersikap. Bibi dan Mamang memang bukan orang tua kandung Faizal. Tetapi mereka yang membesarkan, merawat, memandikan, menyekolahkan hingga dia bisa hidup layak. Orang berpendidikan tinggi seperti dirinya seharusnya tidak lupa berterima kasih, bukan?
"Icin sudah pulang dari Arab. Bapaknya juga."
"Jadi?! Mereka berkumpul kembali? Dan ... Bibi gak sakit hati?" Suaraku meninggi. Aku spontan marah dan kesal.
Bibi menggeleng. Dia mengusap tanganku lembut. "Maafkan saja."
"Ya, nggak bisa gitu, dong, Bi. Paling tidak Faizal tahu berterima kasihlah sama Bibi dan Mamang."
"Jangan menyimpan dendam, Non. Jangan sampai akhlak baik tercemari dendam. Dendam bisa membawa kita kepada kejahatan lebih besar."
Aku terdiam. Menatapnya dan menyelami setiap makna kata yang baru saja diucapkannya. Wanita sederhana ini menyimpan sebongkah berlian di jiwanya. Lihat saja, dia hanya tersenyum, tanpa ada amarah tersembunyi di wajah teduhnya. Jangankan marah, dia bahkan tidak menyimpan dendam sedikit pun di hatinya.
"Jangan biarkan dendam melumpuhkan sendi jiwa murnimu."
Aku terdiam. Ah, aku tertohok. Seharusnya aku juga tidak menyimpan dendam dan sakit hati seperti dirinya. Wanita sederhana ini mengajarkanku arti ikhlas.
"Non, sampai kapan di sini?"
Aku terkesiap, tidak siap dengan pertanyaannya. Aku sendiri belum tahu berapa lama aku di sini, di rumah papa ini. Bisa saja aku hanya sampai seminggu, sebulan, tiga bulan atau sewindu sekalian. Atau mungkin aku akan memutuskan menetap di rumah ini untuk selamanya.