"Sudah sana, terusin nyapunya."
"Baik, Non."
"Eh, Mamang jadi pulang nanti?"
"Jadi, Non."
"Jemput Jupi, 'kan?" Aku berseloroh.
Mang Ding menggaruk tengkuknya yang mungkin tidak gatal. Itu hanya reaksi malu dan salah tingkahnya.
Sambil tersenyum, aku melanjutkan menggoda pria lugu itu. "Semoga Jupi kerasan ya, Mang."
"Aamiin."
Aku masuk ke kamar dengan memasang senyum. Ah, rasanya sudah lama sekali pipiku tidak tertarik seperti ini. Baru semalam aku berada di rumah ini, aku merasakan kebahagiaan yang sudah lama lenyap dari hariku.
Kepergiaan Papa adalah bagian dari takdir yang menurutku sangat tidak adil. Aku sempat terpuruk. Aku protes dan marah kepada Tuhan. Ya, kepada Tuhan yang telah memberiku masalah berat. Semakin aku marah, semakin kacau hidupku. Ah, rasa bersalahku membuatku hampir gila. Semua ini karena dia. Arrggh, pria itu lagi.
Aku beranjak dari kursi putar mendekati jendela kamar yang masih kubiarkan terbuka. Dari tempatku berdiri terlihat halaman yang demikian luas. Jauh di belahan barat, semburat jingga bersemu merah menghiasi cakrawala. Indah. Indah sekali. Walaupun keindahannya hanya sesaat karena kelam akan segera menggantikannya.