Kirab Gunungan sebentar lagi dimulai. Ratusan warga Desa Kendengsidialit, sudah menunggu gunungan itu diarak keliling desa. Mereka paling banyak berkumpul di lokasi terakhir gunungan akan diperebutkan.
Pak Tur dan anaknya-Mahdi-juga termasuk dalam kerumunan warga. Pak Tur dan anaknya tidak ingin melewatkan kegiatan tahunan di desa mereka.
Tangan kasarnya menggandeng erat putra semata wayangnya yang berusia delapan tahun. Dengan bersepeda dari runahnya dia membawa anak laki-lakinya itu menyaksikan kirab.
Sepanjang jalan desa sudah dipenuhi warga desa untuk bersama menyaksikan kirab. Dari mulut Pak Tur terselip kalimat syukur atas karunia Allah. Bumi yang mereka diami telah memberikan banyak rizki untuknya dan warga desa.
Tahun ini panennya berhasil. Bahagia merasuki jiwanya melihat hasil panen mereka. Pak Tur semringah, karena ia dan keluarganya tidak perlu khawatir kelaparan. Bumi telah memberinya banyak rizki.
"Pak!" panggil Mahdi sambil menarik tangan bapaknya, "itu apa?"
Pak Tur menoleh ke ujung jalan desa. Beberapa orang sedang menandu sebuah gunungan. Tandu yang berisi hasil panen seperti palawija dibentuk menyerupai gunung. Berbagai macam sayuran hasil panen disusun rapi.
"Oh. Itu namanya gunungan."
"Apa, Pak?" tanyanya lagi. Sambil bertanya Mahdi minta gendong. Badannya terlalu kecil untuk bisa melihat gunungan. Beberapa orang dewasa menghalangi pandangannya.
"Ada kacang, Pak" teriaknya gembira. Tangan mungilnya diacungkan ke arah gunungan yang berjalan di depannya.
"Ada apa lagi?"