Azan magrib berkumandang, di balik pengeras suara masjid yang berpendar menyapa segenap insan yang mendengarnya.
Sebaris anak-anak lelaki berjalan menyusuri jalan menuju masjid. Senda gurau terdengar riuh di antara mereka. Seorang yang berhidung mancung mengolok anak yang bertubuh tambun. Dan yang lain menimpali. Si Tambun hanya tersenyum kecut menanggapinya. Canda tawa mereka berakhir ketika mereka memasuki halaman masjid.
Di ujung jalan sempit-jarang dilintasi orang-ada bayangan berwujud manusia sedang mengamati keadaan. Jubah hitam dan bertopeng sepintas mirip tokoh dalam film barat. Namun, ini berbeda. Keberadaannya seperti tak terlihat.
Langit makin gelap, sebagian penduduk kampung sedang menjalankan salat magrib. Satu dua burung malam yang terlambat pulang terbang tinggi di angkasa. Riuhnya masih terdengar.
Dan hembusan angin mulai menusuk tulang-tulang renta yang tak kuat menahan dingin. Hawa malam ini menebarkan pesan misteri.
Beberapa jamaah mulai meninggalkan masjid. Bergegas kembali ke runah. Bukan karena ingin segera  menyantap makan malam nan lezat yang sudah disiapkan para istri mereka, tetapi juga bercengkerama dengan anak-anak mereka. Seharian mereka bekerja di sawah, saatnya untuk mengendurkan otot mereka.
Seseorang berseloroh, "Adem tenan, yo."[1]
"Iyo. Arep paceklik."[2]
"Hawane koyo ono sing arep ...."[3]
"Arep ngopo?"[4]
Sejenak lelaki yang tadi berbicara menjadi diam. Mereka berempat mempercepat langkah pulang.