Mohon tunggu...
Rindy Agassi
Rindy Agassi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

New chapter, New Story. \r\nhttp://rindy-agassi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemimpin Yang Menggembala

4 Desember 2011   13:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:50 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senang rasanya ketika sekarang melihat ayahku yang selalu tersenyum, langkah kakinya terlihat ringan ketika berjalan, dan selalu terpancar aura kebahagiaan dari dirinya. Dengan penuh semangat selalu menuntun, memerintah, memberi petunjuk, dan mengarahkan demi menyambung kehidupan.


Ya, dia adalah seorang penggembala yang terus merantau ke berbagai penjuru negeri. Tidak hanya satu macam hewan gembala saja yang ia pimpin, ada domba, kuda, babi, maupun sapi. Berbagai macam hewan dengan sifat berbeda berhasil ayahku satukan menjadi gerombolan hewan yang penurut.


Sudah 17 tahun aku menemani ayahku, menemani dimulai ketika aku masih digendong sampai ketika aku sudah bisa menggunakan kakiku untuk berjalan dan berlari. Entah sudah berapa hewan gembala yang mati karena usia, hewan-hewan ini adalah generasi yang baru yang digembalakan ayahku. Waktu 17 tahun tidaklah sedikit, banyak dari mereka yang sudah beranak, sudah dijual, maupun sudah mati karena usia.


Hanya aku dan ayahku, kami berdua lah yang terus menuntun hewan-hewan ini. Tidak ada sosok perempuan yang ikut membantu, tidak ada kelembutan yang ikut menggembalakan semua hewan ini. Ibuku memberikan nyawanya padaku ketika aku dilahirkan, nafasnya dihembuskan padaku ketika aku lahir walaupun akhirnya ibuku harus tidak bernafas lagi. Sejak itu aku hanya bersama ayahku tanpa ada bayangan wajah ibuku, tanpa ada kenangan manis bersama ibuku.


"Mau tidak mau aku harus menggantikan ayahku tidak lama lagi, aku sudah dewasa, aku sudah belajar banyak, aku harus menggantikannya." Dalam hati aku merenung, berbicara dalam hati, menatap ayahku yang sedang mengarahkan hewan gembalanya mencari makan.


Angin sepoi-sepoi, matahari yang bersembunyi dibalik awan, suasana ini membawaku duduk termenung di atas batu besar, membawaku jauh kembali ke masa lalu. Masa dimana aku melihat perjuangan ayahku untuk menaklukkan para hewan gembala ini.


Melihat bagaimana kuda-kuda yang terus meronta-ronta ketika diperintah, kuda yang berlari jauh ketika mendengar suara langkah kaki mendekat, dan yang tidak segan menendang ketika merasa terganggu. Perlahan ayahku mulai bisa mengendalikannya, memahami sifat kuda yang masih liar itu, menerima segala sifatnya dan akhirnya bisa menaklukkan kuda itu.


Beda lagi saat ayahku mencoba menggembalakan sapi. Badannya yang besar dan tegap jelas memperlihatkan seberapa cepat mereka berjalan. Kelambatan dan kemalasan para sapi itu sungguh menyulitkan, tidak akan mampu satu tenaga manusia mendorong kawanan sapi itu. Tetapi dengan kesabaran dan dengan membiasakan para sapi itu untuk menurut tentu saja ayahku kembali bisa menjadi panutan yang baik untuk para kawanan sapi.


Tidak bisa diatur, liar, dan kotor. Itulah gambaran jelas tentang kawanan babi yang harus digembalakan ayahku. Tidak biasa memang ketika harus menggembalakan babi, sifat tidak mau diatur menjadi hal tersulit yang diatasi. tidak jarang para babi itu berlari bebas ketika mereka diberi kebebasan. Ayahku tidak menyerah begitu saja, dia coba beradaptasi dengan sifat para babi itu. Dia mengurung para babi itu dikandang, membiasakan para babi untuk mendengarkan senjata utama di tangannya yaitu lonceng yang diikat di tongkat.Anjing gembala pun sempat turut membantu ayah untuk menggembalakan kawanan babi ini, memberi perintah secara tegas dan keras memang diperlukan untuk mengatasi para babi yang tidak bisa diatur ini.


Mudah memang ketika dahulu ayahku menggembalakan kawanan domba. Sifat penurut, kalem, dan tenang menjadikan tidak ada masalah berarti ketika harus menggembalakan para kawanan domba.


"Nak ayo sini.." Suara ayah sontak membangkitkanku dari khayalan masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun