Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bidadari Kesiangan

23 September 2010   04:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Angin yang berhembus mempermainkan rambut panjangnya. Entah seperti apa surga, yang seperti ini pun tiada duanya. Peluh yang sedari tadi menetes, membasahi kaosnya, mulai mengering.  Tak terlihat wajah, tenggelam dalam topi yang ditutupkan ke atasnya. Hampir saja terjatuh, angin berhembus lebih kencang. Laki-laki masih melayang.

Desahan nafas, kasar. Melampiaskan kesal dan penatnya pada dunia. Punggung bersandar pada pohon, tak bergerak. Tangan yang biasa menggenggam, lepas. Kaki yang terbiasa melangkah, selonjoran, bebas. Pundak, menyangga hidup dan menanggung beban. Kadang bengkak, berhari-hari. Tak lagi bertanya, sudah memilih. Meski jalan masih sama, mata tak diijinkan bosan.

Lagi-lagi angin berhembus. Perut yang keroncongan pun terlupa. Hari ini belum ada nasi. Sepotong singkong rebus sisa semalam dan secangkir kopi, pahit. Istri pergi, tak kembali. Seorang ibu, renta, setia menanti. Ibu yang entah akan dikubur dimana jika nanti ajal mendekati. Tanah tak semakin murah. Bahkan bumi pun minta dipajaki. Hanya angin, angin yang berhembus yang gratis saat ini.

[caption id="attachment_266441" align="aligncenter" width="255" caption="gambar diambil dari google"][/caption]

Ada bidadari. Pintu terbuka, mungkin surga. Wajahnya bersinar, layaknya mentari. Rambutnya berkibar, bendera yang menari. Aromanya lebih wangi dari nasi yang masak di pagi hari. Diulurkan tangan, pasti lembut. Bibir merona, penuh senyum. Laki-laki berdiri, mencoba menggapai. Ditarik kembali tangan yang sudah di udara, terlalu kotor. Dia bersayap, seperti di televisi. Sepasang, kiri dan kanan, putih.

Bidadari berputar, tidak berubah. Semakin tinggi dan tinggi. Laki-laki kembali menggapai. Senyum masih memancar, hanya semakin pudar. Laki-laki melompat, mulai tersedu. Bidadari telah pergi. Kembali bersama pelangi. Angin masih berhembus, kali ini panas. Peluh kembali menetes. Tiba-tiba dada terasa sesak. Laki-laki terisak, masih ingin memandangnya. Jantungnya berdetak, bibirnya bergerak.

"Bidadari!"

"Bang! Abang!"

"Bidadari!"

"Ih abang suka becanda. Masak bodi sudah kayak gini dibilang bidadari sih?"

Laki-laki terperanjat. Peluh semakin membanjiri. Dadanya naik turun, seolah baru berlari. Mata melotot, mencari-cari.

"Abang, ini pancinya berapaan?"

Diusapnya peluh dengan topi. Angin lagi-lagi berhembus, tetap panas.

"Dua puluh lima ribu," jawabnya pelan.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun