Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kartini

21 April 2016   06:04 Diperbarui: 21 April 2016   06:25 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 “Aku pergi dulu.”

Tak ada jawaban. Gadis kecil di depannya memindahkan sapu lidi ke tangan kirinya sebelum menyambut uluran tangan dari gadis yang lebih besar darinya itu. Tidak lama. Tangan kanannya meraih satu lidi kemudian kembali mengorekannya ke tanah. Tak terarah, karena pandangannya buram oleh air yang tak henti menetes dari kedua matanya. Gadis yang lebih besar berlalu. Di depan, ayahnya sudah menunggu dengan sepeda motor tuanya. Dia harus pergi, harus.

Suasana semakin hening. Tetesan air mata dari kedua gadis itu nyaris tak bersuara. Mungkin, jika ada yang bisa didengar itu adalah jeritan dari kedua hati gadis muda itu. Mungkin juga dari hati seorang ayah yang tercabik menyaksikan pemandangan di depannya. Mungkin. Selanjutnya yang terdengar adalah raungan sepeda motor tua yang mati-matian dihidupkan.

“Dia tidak pernah salah meletakkan sesuatu.”

Mungkin itu kalimat termudah yang bisa diucapkan ketika apa yang terjadi, dialami jauh dari apa yang diinginkan. Mungkin itu juga hanya barisan kata-kata yang cepat saja dirangkai agar tak ada yang menyalahkannya atas apa yang terjadi. Yang pasti selama bertahun-tahun, gadis kecil itu bisa kembali tenang, kembali bersemangat dalam harapan bahwa suatu saat semua akan kembali seperti sedia kala. Tidak ada yang terpisah, tidak ada lagi air mata, tidak ada lagi malam-malam penuh penantian karena rindu yang selalu memalu dadanya kala mata mulai dipejamkan. Rindunya pada seorang gadis remaja yang meskipun lama tak dilihatnya tapi masih jelas rupanya akan dituntaskan. Gadis kecil tersenyum, semua pasti berlalu, harapnya.

“Nanti Emak aku belikan kalung,” katanya penuh senyum.

Perempuan yang dipanggilnya emak itu membalasnya dengan senyum.

“Nanti kita beli sama-sama, ke pasar.”

Lagi-lagi perempuan setengah baya yang berbaring di depan si gadis kecil tersenyum.

“Iya, yang bagus ya, yang besar.”

“He eh,” angguknya mantap.

“Mbak nggak ngabari?”

Si gadis kecil menggeleng. Perempuan di depannya menghela nafas. Semakin hari dadanya semakin sesak, hanya untuk bernafas saja.

“Mungkin masih sibuk. Sebentar lagi hari raya Cina.”

“Iya. Yang penting dia sehat.”

“Emak mau makan? Aku suapin.”

“Sedikit saja,” katanya lagi karena dia sudah hafal emaknya akan menolak.

Perempuan yang terlihat lebih tua dari umurnya itu mengangguk lemah. Si gadis kecil tersenyum. Buru-buru dia berdiri lalu menuju dapur, mengambil sedikit nasi, sup dan tempe.

“Mak, aku pulang.”

Rasanya ingin dijeritkanya kuat-kuat agar perempuan di depannya itu bisa mendengar. Dia tak bisa. Hanya air matanya terus saja menetes. Dia tahu emaknya pasti mendengar, emaknya pasti tahu meskipun saat ini perempuan di depannya itu sudah kaku. Gadis kecil tak mendekat. Sebaliknya, dia memilih duduk diam di pojokan. Bukan tidak rindu, tapi saat ini dia ingin memberi waktu untuk gadis besar itu menumpahkan rindunya, rindu yang ditahannya selama bertahun-tahun di negeri seberang.

Bukan terlambat, mungkin ini adalah salah satu cara-Nya yang tak pernah dimengerti oleh mereka yang mengaku hamba-Nya. Dia pulang, pada akhirnya. Dia menjawab doa-doa yang setiap hari disenandungkan dalam tiap sujud tak terhitung di antara malam dan pagi. Dia kembali, meskipun tanpa sebuah kalung. Dia kembali meskipun tidak dalam balutan tawa atas tercapainya cita-cita yang ingin diperjuangkannya.

Jangan ajari kami cara berjuang, itu yang kami lakukan setiap hari hanya untuk mengisi perut kami. Jangan menghibur kami dengan kata sabar, jika sabar ada turunannya sudah pasti kami ternak. Kartini telah pergi. Tidak pergi begitu saja karena dialah yang mengalirkan darah juang di tubuh kami.

“Ayo pulang, Tin.”

Sebuah tangan, kasar, menyentuh pundak si gadis besar, memintanya untuk segera berdiri karena langit tiba-tiba mendung. Gadis kecil berdiri di belakang sosok besar ayahnya. Diam. Gadis besar mengusap air matanya. Dia tahu dia harus pergi. Sebelum beranjak, dipandangnya tulisan di batu nisan di depannya.

 

Kartini

21 April 2008

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun