Mohon tunggu...
Rina Roudhotul Jannah
Rina Roudhotul Jannah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bukan pembaca yang baik tapi ku hanya suka.

Membaca seperti menghidupkan cahaya buatan... Menulis seperti membuat pedang buatan....

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film Bumi Manusia: Yang Hilang dari Bukunya

16 Agustus 2019   14:35 Diperbarui: 16 Agustus 2019   15:41 2100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: brillio.net

Finally...

Film yang diangkat dari karya besar novel Pramoedya Ananta Toer telah beredar di bioskop-bioskop dari sabang sampai merauke.

Novel sekomplek dan serumit itu bisa ditaklukkan menjadi skrip skenario film oleh Hanung Bramantyo. Mengagumkan!

Setelah ku kembali dari bioskop lantas aku mengingat-ingat film dengan durasi 3 jam itu terasa ada yang hilang, seperti ada yang kosong dan ngganjel.

opo yo?

Setelah sampai di rumah rasa mengganjal itu belum juga terselasaikan. Akhirnya aku bertanya dengan temanku yang sama-sama nonton film tadi dan membaca bukunya.

"opo yo sek aneh, seperti ada yang hilang?" tanyaku padanya

"sek...sek...yang hilang itu sepertinya ingatanmu tentang cerita utuhnya. wkwkwk" ujarnya

"asem ki..." 

Namun, perlahan ingatan itu kembali.

Tentang apa-apa yang hilang dalam film itu.

Mingke...

Sang Mingke tokoh utama yang diperankan oleh iqbal terasa sempurna bagi para penonton yang belum membaca bukunya. Namun, terasa aneh bagi kami yang baca novelnya terlebih dahulu. Mengapa mimik muka Mingke dari awal film hingga selesai seperti terintimidasi, kebingungan. Well... itu dia yang mengganjal. Karakter slengekan, penasaran yang tinggi, pengkritik keras pada pribadi Mingke seperti pudar di dalam film.

Padahal berharap banget melihat si Mingke ngedumel-ngedumel sendiri ketika disuruh jalan ndodok di pendopo Bupati. Dari awal sepertinya sang sutradara sudah mensetting Mingke menyesali perbuatannya karena terlalu terlena dengan modernitas Eropa.

Mingke adalah Tirto itulah yang tidak disebut dalam bukunya, yang kemudian fim ini menajdi seperti film biografi nya Tirto sang Bapak Jurnalis Indonesia. Bukan lagi seutuhnya tentang bumi manusia dan permasalahannya.

Dialog...

Dialog yang bersifat sarat makna dibawakan secara lugas dalam filmnya. Sedikit sekali dialog batin dan diskusi perang batin dalam setiap perjalanan dan sikap yang diambil Mingke. Mungkin dengan cara begitulah agar film tidak berdurasi panjang.

Tidak ada lagi dialog diskusi bolak-balik antara Mingke dan Jean, Mingke dengan Maryam Sarah, Mingke dan gurunya Peter. semuanya benar-benar singkat dan padat. Proses pencarian jati diri seorang pribumi yang terkesima oleh modernitas Eropa menjadi zonk. 

Label film tersebut menjadi sama dengan biografi-biografi pahlawan Nasional yang melawan penjajahan kolonial dengan berbagai cara, cara Mingke adalah dengan "Menulis". Dibumbui dengan kisah roman yang selalu mendapat tempat di hati manusia.

Hal-hal tadi menjadikan film Bumi Manusia sedikit melenceng dari misi yang dibawa oleh novel Bumi Manusia yang sebenarnya tidak sekedar menceritakan kisah Pahlawan Nasional. Buku Bumi manusia adalah sebuah buku zaman. Pramoeya membungkus sebuah zaman dalam kisah dalam novel. Zaman yang diisi oleh berbagai polemik ideologi di ramu dalam scoop satu keluarga yaitu keluarga Nyai Ontosoroh.

Buku ini sebenarnya ringan, ia tidak memberati para pembaca untuk memahami apa itu politik kolonial, bagaimana yuridis yang berlaku masa kolonial, bagaimana penjajahan merampas hak-hak pribumi, bagaimana sistem perbudakan saat itu. Buku ini membantu para generasi pasca kemerdekaan untuk mengetahui bagaimana semua itu terjadi dengan dimanjakan dengan balutan kisah roman, visual yang detail dan pemaran ideologi kemerdekaan atas hak diri dan bangsa  yang ringan dalam tokoh-tokohnya.

Mingke dengan segala antusiasnya, Mingke sebagai simbol asimilasi budaya pribumi yang diperbaiki dengan ilmu pengetahuan modern, antusiasmenya mengangkat derajat dan harkat manusia Indonesia untuk tidak tertindas dengan segala label yang melekat sejak nenek moyang, antusiasmenya melahirkan kembali semangat perjuangan para pendiri bangsa.

Para generasi pasca kemerdekaan pasti sangat jemu dan bosan mempelajari buku-buku teori sejarah yang terpajang di rak perpustakaan dan di dalam kelas kan??? Apalagi penulisan buku sejarah sangat banyak ditunggangi oleh berbagai kepentingan zaman. 

Buat yang mau dapat gambarannya bisa dong nonton filmnya dulu baru bca bukunya.

so, mari menonton film nya dan berdiskusi dengan membaca bukunya. pasti seru.

Salam.

@rinarj9119

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun