Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Terhentikan

8 Maret 2021   13:27 Diperbarui: 8 Maret 2021   13:49 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar koleksi pribadi

Pintu kamarku terbuka perlahan. Dia berdiri di sana sambil melambaikan tangan. Aku tersenyum melihat wajah yang tak lekang kecantikannya. Wajah yang sudah kuakrabi sejak kecil, ketika kami mendaftar di TK yang sama. Yang tak selalu tersenyum, apalagi tertawa, namun punya kekuatan tak terkalahkan. Baik oleh usia, pun oleh kehidupan yang sudah melintas sepanjang hampir enam dasa warsa.

"Masuklah,"pintaku.

"Aku takut kamu tertular. Aku belum swab test,"jawabnya lugas, sebagaimana kebiasaannya. Tak luntur oleh badai teguran dan penilaian, bila saja dia sedikit lembut bicara, apalagi tudingan ketus yang kerap diterima. "Kangen aku, Tan,"kembali terdengar suara altonya. Aku tersenyum menatap satu-satunya perempuan yang tak pernah berhenti bersahabat denganku. Perempuan yang mengenalku dengan baik, sementara aku lebih banyak dikejutkan oleh karakter tersembunyinya.

Dia bukan hanya cantik raga, juga hatinya. Tak pernah menyimpan sampah pada hati dan pikiran. Pada badai dia berlindung, juga mempersiapkan diri, walau tak selalu berhasil selamat tanpa luka. Pada luka, dia tak menjerit, apalagi mengeluhkannya. Dia tahu bagaimana mengobati dengan baik.

"Kemarin kemo yang keempat kan?"dia kembali bicara di tempatnya. Aku mengangguk. Ah ... pandemi membuat semua berjarak. Juga membuat saling mencurigai tanpa kata. Menebar ketakutan tak terelakkan, bersama korban yang terus berjatuhan tanpa mengenal status sosial.

"Kamu kudu makan yang banyak, biar tetap kuat, Tan," ada kalanya dia cerewet sebagaimana jutaan perempuan lain di dunia. Seperti baru dia lakukan. "Lihat tuh, kakimu kecil banget. Kamu kurus sekali, Tan,"terus saja dia nyerocos sambil berdiri.

"Ya ... ya ... ya ...,"kujawab begitu saja."kamu kok sudah dandan gitu mau kemana?"kucoba alihkan pembicaraan.

"Ada undangan kawinan anak teman SMA ku,"jawabnya sambil mematut diri, membuatku menahan tawa. Dia bukanlah perempuan kemayu, hingga bila dia melakukan hal perempuan banget terlihat gagu.

"Gimana, kerudungku sudah bener kan, Tan?"tanyanya. Ya, dia suka asal saja memakai kerudung, tak peduli di keseharian, juga untuk pesta. Saat aku sehat, aku suka sekali mendandani serta merapikan kerudungnya. Dia perempuan yang tak butuh banyak saputan make-up. Tak begitu suka dengan tebalnya bedak dengan segala tetek bengeknya. Baginya, cairan lekat, taburan, juga warna riasan yang berlebih membuatnya gatal.

"Lepasin gih, miringkan yang ada kerutan itu. Minta peniti sama Lisa,"aku masih saja gatal ingin merapikannya walau mengangkat tubuhku saja aku tak mampu.

"OK,"jawabnya sebelum menghilang sekejap sebelum kembali membawa apa yang kupinta bersama Lisa. Tetap di luar kamar, dia mulai melakukan apa yang kuperintahkan, bersama cermin yang dipegang adikku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun