Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Menciptakan Koruptor

16 Januari 2020   09:06 Diperbarui: 16 Januari 2020   09:13 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sepertinya hampir setiap tahun, kita selalu disuguhi berita tertangkapnya para koruptor. Mereka berasal dari segala profesi, dari mana saja, dengan jabatan yang juga beragam. Anehnya, semua tak pernah berubah dan tak membawa pembelajaran apa pun bagi para aparat juga para koruptor. berulang dan terus berulang.

Kenapa tak ada yang studi banding ke negara-negara yang minim koruptornya. Tentang bagaimana mereka mencegah, sekaligus memberi efek jera pada yang melakukannya. Sementara ratusan studi banding yang sudah banyak memboroskan uang negara, kebanyakan tak jelas dampaknya.

Budaya meneliti juga jauh dari yang diharapkan. Alasan klasik dan klise selalu tertulis ketiadaan dana. Sementara yang sudah dirampok  dan terorganisir sudah mencapai trilyunan.

Koruptor tercipta karena adanya kesempatan. Dari lemahnya pemikiran, hingga lemahnya sistem pengawasan.

Yang paling menggelikan baru-baru ini, ada yang minta didoakan. Sudah menzalimi, minta didoakan?

Ada beragam kondisi yang membuat kita tidak sadar menjadi pencipta koruptor. Antara lain:

  • Malas

Banyak yang tidak suka dan menghujat para koruptor, namun tak menyadari bahwa dia menjadi salah satunya. Merasa semua baik-baik saja walau melakukannya hanya karena banyak yang melakukannya. Kata 'banyak' menjadi paling 'banyak'  memperdayakan 'kebanyakan' manusia. Tak percaya?

Sejenak kita melihat dari sisi yang paling dekat dengan keseharian kita. Keluarga. Sudahkah kita mendidik anak-anak kita dengan baik. Dari hal yang kecil hingga yang besar. Bukan hanya soal pahala dan dosa, namun bagaimana adab didahulukan mendahului keilmuan.

Saat anak masih kecil, sedikit sekali yang berani mengajarkan 'kerja keras' dan kemandirian. Merasa kasihan bila anak dibiasakan bangun awal, dengan beragam alasan. Salah satunya, karena mereka belum punya kewajiban untuk salat subuh. Atau karena tidurnya larut. 

Pikirkan, siapa yang membuat mereka tidur larut? Lalu menyalahkan televisi sebagai penyebab. Bukan diri sendiri yang malas mendisiplinkan jam tidur anaknya sendiri.

Pembiaran sejak kecil untuk menjadikan malas sebagai kebiasaan, terus terbentuk. Anak-anak secara langsung sudah diajarkan malas oleh orang tuanya sendiri. Banyak yang lupa bahwa memanjakan anak, sama artinya menabung masalah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun