Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beratnya Menjadi Hakim

26 Juni 2019   09:59 Diperbarui: 26 Juni 2019   10:12 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu kakak saya seorang sarjana hukum, namun seusai lulus diterima bekerja di sebuah institusi hukum dan hendak menjalaninya ayah mengajaknya duduk berdua dan bicara dengan serius. Intinya, ayah ingin tahu apakah kakak saya paham makna keadilan dan mampukah dia melakukan hal tersebut. Semua karena kakak saya orang yang jujur, lugu dan taat beribadah.

"Menjadi hakim yang adil bukanlah hal yang mudah. Risikonya bukan hanya di dunia namun di akhirat. Apakah kau siap untuk menanggung konsekuensi yang sangat berat tersebut?" pertanyaan utama ayah, tak mampu dijawab kakak

Tanpa diminta, akhirnya kakak batalkan menerima pekerjaan tersebut dan memilih bidang lain untuk bekerja. Bertahun kemudian, ketika dia melihat bagaimana kawan-kawannya satu almamater yang sukses dan sebaliknya, kakak merasa sangat bersyukur dengan keputusan yang dia ambil.

Sudah jadi rahasia umum, bagaimana banyaknya jaksa, hakim dll yang tak menampik uang suap. Hukum jadi ajang jual beli, hingga sekarang. Bukan berarti tak ada yang jujur, namun pertanyaannya, berapa banyak dibandingkan yang sebaliknya. Teman saya dengan santai tertawa saja saat mengetahui anaknya tertangkap tangan saat teler.

"Ah, santai sajalah, tinggal siapin, lanjut dibui sebentar atau rehab. Semua ada harganya," begitu katanya.

Bagaimana ada unsur jera jika semua bisa dibeli?

Godaan dunia yang luar biasa hanya mampu ditolak oleh orang-orang yang masih memiliki iman dan harga diri. Tapi, masih adakah itu? terlebih bila bukan hanya milyaran yang akan dia terima, namun bisa trilyunan?

Siapa sih yang tak ingin kaya dengan cara mudah zaman sekarang? Bisa plesiran keliling dunia, makan di restoran kelas satu dan tidur di hotel bintang lima dan tak pusing dengan mahalnya harga tiket pesawat. Coba buka saja instagram, semua pamer kehidupan indah dan sempurna, seolah menjual mimpi yang laku keras dengan banyaknya love yang didapatkan.

Dari perawatan kecantikan ratusan juta yang harus dilakukan di luar negeri, sedang fitting baju di tempat desainer terkenal, hingga jalan-jalan ke ujung dunia bersama keluarga dengan outfit yang nilainya bisa ratusan juta. Belum lagi jam tangan, tas tangan, kacamata, sepatu dan lain-lain yang sengaja diperlihatkan untuk sebuah gengsi.

Begitulah... diakui atau tidak, budaya hedonisme sudah merasuki seluruh dunia. Terlebih di dunia para pesohor. Belum sah suksesnya bila belum bisa jalan-jalan keliling dunia dengan rutin. Semua diperlihatkan, dari rumah dan isinya, mobil juga koleksi lainnya. Inilah yang akhirnya menciptakan mimpi bagi orang-orang yang masih kere.

Sebuah motivasi yang bagus, bila dia mengejar mimpinya dengan kerja keras dan cara yang benar. Masalahnya adalah yang salah sekarang makin dipermisifkan menjadi sebuah kebenaran. Lihat bagaimana suap sudah dianggap biasa dan dianggap sebagai pelicin. *Benar sih... pelicin masuk neraka!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun