Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Misuh"

14 November 2018   06:00 Diperbarui: 14 November 2018   06:38 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai orang Surabaya, menyebut kata jan*** sudah hal yang biasa. Hampir tiap hari kita bisa dengarkan di mana saja. Hingga banyak turis yang penasaran dan ikut mengatakannya walau mereka tak tahu artinya. Ada yang mengartikan kata tersebut sebagai hal yang tak baik, ada yang mengatakan bahwa kata tersebut sebenarnya tak berarti apapun. Beda dengan kata 'matamu', 'ndas-mu', 'dobol' yang juga sudah biasa orang Surabaya katakan, bukan saat marah, malah lebih banyak dalam keadaan bercanda, punya makna yang jelas yaitu mata kamu, kepala kamu dan jebol.

Walau demikian, sedari kecil, bisa dipastikan bila kami berkata seperti itu akan dapat hukuman dari orangtua kami. Bahkan bukan hukuman yang ringan. Hingga akhirnya kami tak lagi berani mengulang apalagi membiasakannya. Sepanjang hidup,  tak sekalipun saya mendengar ayah rahimahullah 'misuh', dalam keadaan semarah apapun juga. Jangankan misuh, kami putri-putrinya duduk terbuka sedikit atau tertawa ngakak, langsung dapat teguran sejak kecil.

Malu menjadi dasar dari semua. Karena malu adalah bagian dari iman.

"Mulut tidak diciptakan untuk memaki, atau menertawai orang lain,"begitu pesan Ayah.

Ironisnya sekarang, misuh jadi hal yang biasa dan mungkin juga dibiasakan. Dianggap bukan hal yang memalukan sama sekali. Padahal jika menilik dari arti katanya di KBBI, misuh/mi*suh/Jw v mengeluarkan pisuhan; memaki.

Di Surabaya, bahasa pisuhan itu masih banyak di suarakan oleh orang-orang dari beragam kalangan. Kebanyakan yang mengucap adalah para lelaki. Jika tensi makin naik, maka tak cukup pisuhan, isi kebun binatangpun akan keluar semua.

Akhir-akhir ini juga, makian jadi bahasa sehari-hari. Tak peduli terpelajar ataupun tidak, memaki jadi kebiasaan yang dilakukan tanpa risih sedikitpun. Banyak yang tak suka dibilang 'kurang terdidik' atau tidak intelek, namun apa yang dikeluarkan isinya memang tak cerminkan gelar akademis yang ditulis di depan dan di belakang namanya. Banyak juga yang tak suka dibilang 'tak beriman', namun kesukaannya memaki orang menunjukkan sendiri di mana dia berada.

Tak sedikit yang membela diri melakukan pembenaran kebiasaan misuh alias memakinya dengan kalimat,"Aku itu orangnya gak suka munafik. Misuh ya misuh aja, daripada berkata manis tapi hatinya jan***an"

Begitulah manusia dengan segala pembenarannya.

Bagaimana bisa manusia di sebut anjing di depan umum oleh seorang pimpinan di daerah? Juga bagaimana kata makian lain yang bermakna bodoh, konyol juga diucapkan oleh seorang pemimpin? Tak adakah kata lain yang lebih santun? Sudah hilangkah budaya ketimuran yang terkenal dengan kesantunan dan keramah tamahannya?.

Manusia itu sebaik-baik ciptaan, namun kenapa jadi lebih rendah dari hewan ya? silakan periksa isi kebun binatang, semarah-marahnya mereka adakah yang memaki dengan kata 'manusia' sebagaimana manusia memaki dengan kata'anjing'?

Dimanakah adab itu diletakkan ketika lidah dengan ringan terus misuh kepada siapa saja yang bersebrangan. Ingin mengatakan bahwa dia lebih baik dari yang dipisuhi, tapi dengan cara yang tak beradab sama sekali. Bagaimana orang lain mau percaya?

"Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu. Adab tanpa ilmu seperti ruh tanpa jasad"- Zakariya Al-Anbari.

Lalu yang suka memaki dengan kata-kata yang tak pantas, masih pantaskah disebut sebagai orang yang terpelajar? Salah satu hal yang harus pandai dikendalikan adalah amarah. Karena amarah yang tak terkendali akan memercik ke diri sendiri. Seperti hilangnya kendali mengatakan hal baik dan berganti dengan kata-kata yang tak pantas. 

Terlebih jika yang melakukannya adalah seorang pemimpin. Yang tercatat bukan hanya di media cetak, namun jejak digital itu tak akan bisa hilang begitu saja. Yang bukan hanya dibaca orang dewasa, terlebih juga oleh anak-anak. Itukah teladan?

Orang yang suka misuh bisa jadi pertanda kurangnya iman. Karena iman terkait dengan malu. Rasa malu yang kuat, tak akan membuat seseorang mudah mengeluarkan suatu perkataan ataupun perbuatan yang dampaknya akan mempermalukan dirinya sendiri.

Mulut kita bisa jadi penyelamat, juga bisa jadi perusak jika digunakan untuk memaki, menghasut dan mengucap segala keburukan. Mulut harus kita disiplinkan dalam mengeluarkan ucapan/bahasa. Jika tidak, semakin anda banyak bicara, semakin banyak penyesalan.

Entah apalagi nanti makian yang akan keluar di hari-hari ke depan yang akan jadi berita nasional dan trending topic. Sudah hilangkah rasa malu itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun