Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ketika Kanker Jadi Pengingat

17 Februari 2018   20:53 Diperbarui: 18 Februari 2018   06:01 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Silvira Nazzai sedang menghibur seorang anak pasien penderita kanker di rumah singgah Children Cancer Care Community Aceh (C-FOUR) di Banda Aceh, Sabtu (28/10/17).(DOK. SILVIRA NAZZAI)

Februari, banyak yang mengingat Valentine's day dibanding sebagai hari kanker anak.  Sebuah penyakit serius yang tak lagi didominasi orang dewasa, namun juga anak-anak. Menurut data, kebanyakan anak-anak yang menderita diketahui sudah dalam kondisi lanjut, bukan di tahap awal. Dan itu sangat memprihatinkan.

Sebagai orang yang pernah merawat penderita kanker, tentu ada kepedulian tersendiri pada penyakit ini. Hingga suatu hari saya bersama beberapa teman mengadakan kunjungan sosial pada pasien anak-anak penderita kanker  di sebuah rumah sakit. Tentu setelah melewati beberapa prosedurnya.

Kami bergantian masuk ruangan itu. Saat ada yang masuk, yang lainnya hanya bisa melihat lewat kaca. Dan saat giliran saya masuk, ternyata tak semudah yang saya bayangkan seperti saat saya merawat ibu mertua dulu. Mendengar bagaimana orangtua mereka bergantian menunggu anak yang sakit karena semua harus bekerja demi bisa membayar biaya perawatan mereka yang tentu saja tidak sedikit, juga bagaimana melihat anak-anak melewati masa yang seharusnya penuh keceriaan. Butuh perjuangan luar biasa bagi saya untuk tidak menangis.

Saat membacakan cerita sembari melihat mereka terkulai tak berdaya, entah berapa banyak tissue yang harus saya gunakan untuk mengusap air mata yang tak mau berhenti turun. Anak-anak yang masih kecil, yang biasanya berada dalam dunia yang penuh gerak, penuh tawa dan penuh dengan permainan, harus dihabiskan di tempat tidur dan menjalani pengobatan yang tak ringan.

Walau ada kunjungan berulang, tetap saja saya tak pernah mampu mencegah jebolnya air mata saya. Hormat saya pada para orangtua penderita yang begitu luar biasa ketabahannya, juga para perawat yang penuh ketulusan mendampingi mereka.

Kanker, penyakit yang telah merenggut dua orang dekat di hidup saya. Ibu mertua dan kakak perempuan saya. Kenangan pada mereka tak akan pernah terhapuskan. Jika kakak saya mampu bertahan beberapa tahun sejak terdeteksi, maka ibu mertua saya hanya 6 bulan saja bertahan sejak terdeteksi. Saya hanya diam terpaku saat mendampingi beliau hingga akhir nafasnya. Tak mampu menangis setetespun.

Tentu tak akan terlupakan saat itu, saat ibu mertua saya terjatuh. Malamnya mengeluh sakit di perutnya, yang awalnya kami kira akibat dari jatuhnya. Kamipun ke dokter untuk memeriksakannya. Entah bagaimana dokter meminta banyak pemeriksaan. Namun kami patuhi semuanya, hingga akhirnya dokter menyatakan bahwa ibu mertua menderita kanker cervix stadium lanjut.

Mulailah semua program pengobatan panjang. Dari operasi, kemotherapi hingga yang lainnya. Bahu membahu kami merawat dan mendampingi beliau. Rambut yang terus rontok dan akhirnya botak, kulit yang kering bagai terbakar hingga derita kemoterapi saat itu. Bukan hanya di rumah sakit, di rumahpun kami semua terus memperhatikan keadaan ibu.

Jelang kemo ke tiga, dokter memanggil kami. Mengatakan penurunan kondisi ibu, dan seperti menyuruh kami untuk bersiap menghadapi yang terburuk. Kami memilih diam. Mencoba mencerna apa yang semestinya mudah. Sesiap apapun, saat ibu menghembuskan nafas terakhirnya dengan tangan yang masih ada dalam genggaman saya, kami tetap kehilangan.

Dua belas tahun kemudian, kami seperti dibangunkan kembali saat kakak perempuan terdeteksi kanker yang sama di rumah sakit di Singapura. Kami ingin memberikan pengobatan terbaik, hingga Singapura seperti rumah kedua kami. Menyewa apartemen untuk bisa bergantian merawat dan mendampingi kakak kami tersayang. Tak ada kata menyerah begitu mudah pada kami untuk memperjuangkan kehidupan kakak, namun Allah berkehendak lain.

Kakak lelah dan tak ingin dibawa kemanapun. "Biarlah aku mati di sini saja, bukan di negara orang." sebuah pesan yang tak pernah kami lupakan. Kami penuhi walau saat itu kami semua telah siap membawa beliau ke Guangzhu demi mendengar banyaknya pengobatan kanker yang 'katanya' sukses.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun