Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terdedah Karena Lidah

10 Desember 2017   07:43 Diperbarui: 10 Desember 2017   07:44 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari lalu, salah seorang teman saya terpeleset di rumahnya yang membuat tempurung lututnya pecah. Lalu esoknya harus di operasi. Beberapa tahun yang lalu, seorang teman saya yang sedang cuti hamil dan menunggu hari kelahiran, saat usai hujan mencoba membersihkan air tampias di depan kamarnya. Ia terpeleset dan kepalanya membentur pot tanaman yang membuatnya meninggal dunia.

Banyak sekali kejadian yang cukup menyedihkan akibat terpeleset. Dari yang luka biasa, yang harus di operasi hingga meninggal dunia. Namun, ada terpeleset yang efeknya tak membuat luka apapun di tubuh yang bersangkutan namun bisa menimbulkan sebuah perang antar negara yang akhirnya menjadi perang dunia. Yaitu terpeleset lidah.

Bagi sebagian besar orang, bicara itu menyenangkan. Tak mengenal waktu, tempat ataupun keadaan. Dalam derita dia bicara lewat keluhan, baik kepada yang mengenalnya ataupun yang tak mengenalnya. Lo...Bagaimana bisa dia bicara pada yang tak mengenalnya?. Tentu saja lewat media sosial yang dia miliki, lewat jemarinya yang menulis segala keluhannya.

Dalam keadaan suka cita, mereka lebih banyak lagi bicara, memamerkan kemampuannya untuk makan di resto mahal, pelesiran ke luar negeri, segala barang mewahnya, rumah bagusnya, dan sebagainya. Berharap banyaknya puja-puji dan kekaguman dari yang lain atas ke'berhasil'annya.

Dalam keadaan sakit hati, semua diungkapkan tanpa jeda. Bahkan tak jarang isi kebun binatang yang bahkan tak mengenalnya, dia panggil dan tuliskan semua. Berharap simpati dan mendapat dukungan. Pembenaran bahwa dia adalah pihak yang di dzalimi.

Begitupun saat'merasa' punya ilmu atau kemampuan lebih. Mengumbar segala kata untuk tunjukkan siapa dirinya. Berharap pengakuan dari banyak orang. Bicara kesana kemari, dengan lagak yang sengaja dibuat untuk mengesankan orang lain.

Lalu lihatlah di grupchat online. Semua selalu riuh dengan 'percakapan' basa-basi yang tak berisi sama sekali. Bahkan untuk bertanya satu topik akan ada pengulangan tiada henti.

Yang ditulis saja ramai tanpa jeda 24 jam, apalagi bila bertemu langsung. Keriuhan suara para 'pembicara' dianggap sebagai kehebohan yang lumrah. Bicara telah jadi budaya, bukan berkarya ataupun bertindak. Ibaratnya jadi sebuah kumpulan wacana belaka. Akibat yang dapat dilihat secara langsung adalah banyaknya manusia yang reaktif. Sekecil apapun kejadian maka hampir dipastikan, cepat membesar karena sikap ini.

Masih segar dalam ingatan kita pada bagaimana hasil terpeleset lidah seorang peserta sebuah acara yang cukup digemari di sebuah televisi nasional baru-baru ini. Hujatan dan cemoohan serasa paduan suara yang bernyanyi tiada henti. Dari yang paham persoalan hingga yang hanya bisa menyalin kata-kata yang lain. Bahkan yang tak menonton langsungpun, tanpa sungkan berteriak penuh semangat di media sosialnya. Menertawakan, membodoh-bodohkan dan menyangkutkan dengan kelompoknya plus'nyukurin' yang bersangkutan.

Singkatnya, mereka dihabisi. Tanpa rasa sedikitpun. Seolah mereka semua punya hak untuk itu. Kalaupun ada yang berusaha terlihat baik, maka kata-kata klisepun keluar. Sungguh, rasanya makin bersyukur tak pernah menonton televisi lagi.

Acara yang disiarkan langsung tentu tak ada filternya. Peserta tak boleh salah karena acara itu punya penggemar jutaan orang. Terlebih acara itu seperti ujian intelektualitas para peserta yang memang notabene rata-rata terpelajar. Bagi yang sudah berpengalaman tampil di  media dan memang punya kapasitas, mungkin tak ada masalah. Namun bagi yang baru saja tampil perdana di media dengan kapasitas intelektual yang belum jelas, maka kemungkinan terpeleset itu memang besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun