Mohon tunggu...
Rina Nuryasari
Rina Nuryasari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menakar Tujuan

20 Desember 2016   12:28 Diperbarui: 20 Desember 2016   12:36 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu saya mendapat pengalaman menarik dengan salah seorang teman ketika kami terlibat diskusi antar komunitas.  Saya beruntung mengenal sosoknya yang tangguh dan optimis. Pertama kali saya bertemu, saya langsung menyukai keramahan dan gayanya,membuat saya seperti telah lama mengenalnya. Teman saya ini sedang terlibat dalam satu komunitas pembela hak minoritas yang berlokasi di Surabaya. Banyak pengalaman yang dia bagi terkait dengan konsep-konsep pembelaan yang mereka pegang teguh dan tindakan yang mencerminkan konsep itu yang sedang mereka upayakan.

Teman saya ini terlibat dalam satu proyek yang dia prakarsai di bawah naungan LSM tersebut dan kegiatan yang dilakukan berputar di masalah pendidikan bagi anak korban konflik antar sekte Agama. Anak-anak ini masih bersekolah sejauh ini, namun kemampuan mereka menyerap materi pelajaran tidak sebaik anak-anak pada umumnya karena pengalaman berada di tengah situasi konflik yang pernah mereka lalui. Mereka dipindahkan dari wilayah asal dengan harapan akan bisa memulai kehidupan baru dengan lebih baik. 

Namun masalah adaptasi ternyata tidak semudah yang kita baca dalam buku. Keluarga mereka kesulitan untuk memulai matapencaharian yang sesuai dengan keahlian dan anak-anak pun cenderung tidak didampingi ketika memasuki wilayah baru dan berinteraksi dengan orang baru di lingkungan maupun di sekolah. Pada situasi semacam ini lah teman saya dan LSM-nya muncul, berusaha menjadi penolong dan saudara bagi mereka.

Waktu berlalu dan teman saya ini sering berbagi mengenai apa yang dia lakukan di lokasi itu. Mulai dari mendidik anak-anak dengan pelajaran dasar seperti di sekolah, mencari relawan guru, mencari donatur untuk keberlangsungan program, dan lain-lain. Semua yang dia lalui selalu dimaknai bersama ketika kami saling berbagi. 

Tidak ada kata sia-sia, meski perkembangan anak-anak di sana terkesan lambat bagi mata orang di luar. Masa berlalu ketika saya akhirnya pindah ke kota lain, dan kami sama sekali belum bertemu lagi. Namun pada satu kesempatan dalam obrolan via telfon, kami berbagi banyak hal mengenai kejadian yang kami lalui selama tidak bertemu, termasuk keadaaan kelas yang dia pegang.

Teman saya dengan berat mengatakan bahwa dia tidak lagi mengajar saat ini. Ketika saya tanya alasannya, dia menjawab bahwa terlalu banyaknya kepentingan dalam menangani para korban membuat kemurnian niat masing-masing pihak menjadi tercampur dengan ambisi untuk ingin didengar dan ingin diperhatikan oleh pihak luar. 

Saya memahami bahwa dalam banyak kasus, niat yang murni untuk menolong sesama selalu menjadi dasar awal dilakukannya tindakan, namun dalam perjalanannya niat ini terus menerus dipertanyakan dan ditantang secara praktis untuk dapat dilakukan. Tak ubahnya kasus teman saya ini, kemajuan anak-anak yang ia kelola sangat minim untuk skala umum. Anak-anak ini tidak serta merta menjadi juara kelas karena mendapat pembelajaran tambahan, tidak juga terlibat dalam olimpiade tingkat kabupaten atau provinsi. Hal ini memicu keengganan LSM untuk melanjutkan upaya, namun tidak dengan teman saya. 

Dia merasa banyak hal yang ia dapat selama dia mengajar. Dia menyampaikan bahwa semua ijazah kita dipertaruhkan dan semua sifat baik yang kita pelajari secara teoritis diuji di medan tindakan ini. Anak-anak berubah. Tidak dalam artian meteriil berupa peningkatan nilai belajar di sekolah, namun dari segi kehalusan watak dan kembalinya sifat anak-anak yang lembut. Tidak lagi kasar dan suka memukul, seperti pada awalnya. Saya lalu menanyakan pada teman saya, apa tujuan yang membuat dia bertahan meski LSM-nya enggan melanjutkan? Jawabannya adalah karena ia ingin mengabdi. Baginya mengabdi adalah buah, adalah tujuan. 

Mengabdi bukan proses yang kita tempuh, bukan pohon yang berusaha menghasilkan buah. Tapi mengabdi adalah buah itu sendiri. Dalam analogi sebatang pohon, akarnya merupakan sifat baik yang tertanam dan tersembunyi di dalam tanah, batang pohon dan daunnya adalah pendidikan yang selama ini mengolah apa yang terpendam dan menyalurkannya sehingga pohon dapat tumbuh. 

Lalu buahnya? Adalah pengabdian kita kepada masyarakat. Pengabdian merupakan hasil dari pohon, apakah dia akan tumbuh untuk kepentingannya sendiri atau menghasilkan buah bagi orang lain. Apa yang kita lihat sebagai tujuan menjadi pembeda sekuat apa langkah kita dalam berproses. Dan bagi teman saya, kemajuan akhirnya tidak bisa diukur hanya dengan valuasi yang menghasilkan pilihan untung atau rugi, yang nantinya kita jadikan dasar untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan kegiatan yang kita jalankan. 

Meletakkan tujuan dengan tepat juga menentuan langkah berikutnya yang kita ambil untuk mencapainya. Tujuan yang mulia, harus dicapai dengan cara-cara yang mulia. Konsistensi ini diperlukan agar bias yang mungkin timbul ketika meraih tujuan itu tidak jauh dari pokok awalnya. Sebagaimana saya dan teman saya memaknai hal ini, penting bagi kita untuk terus berbagi apa tujuan dari kegiatan yang kita prakarsai, agar tiap pihak yang terlibat sama-sama tahu akan ke arah mana proses ini. Jika ruang untuk berbagi ini dihilangkan, bisa saja dalam perjalanan kita memilih pecah kongsi, atas nama prinsip yang dipegang masing-masing, bukan lagi proses untuk mencapai tujuan awal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun