Mohon tunggu...
Rinaldi Syahputra Rambe
Rinaldi Syahputra Rambe Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan Perpustakaan Bank Indonesia Sibolga

Anak desa, suka membaca, menulis dan berkebun. Singgah di akun YouTube ku https://youtube.com/@azzamgarden7333

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kades Dulu dan Kini, di Balik Isu Perpanjangan Masa Jabatan 9 Tahun

10 Februari 2023   09:59 Diperbarui: 10 Februari 2023   11:56 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dahulu Desa dikenal dengan tempat yang nyaman, aman, damai dan menjunjung tinggi kekeluargaan. Suasana ini terjaga dengan harmoni yang diciptakan secara bersama-sama. Kades dikenal sebagai pengayom dan tokoh masyarakat yang dihormati. Saya pribadi lahir dan besar di desa, hiruk pikuk desa benar-benar saya rasakan, bahkan sudah menjadi bagian dari karakter yang tertanam dalam diri saya.

Meskipun desa dikenal dengan kenyamanan dan keamanannya bukan berarti tidak ada masalah antar sesama masyarakat desa. Masalah tetap saja ada dan diselesaikan dengan cara bijaksana. Kades sebagai orang yang dihormati selalu menjadi figur yang mampu menjaga harmoni antar warga. Ketika ada persoalan kades akan bertindak sebagai penegah pencari solusi. Kades dikenal dengan power kekuasaannya yang arif, tidak culas, adil dan bijaksana.

Kades sebagai tempat pengaduan permasalahan sehari-hari hampir setiap permasalahan masyarakat desa. Mulai dari persoalan bertetangga yang kurang akur, batas tanah yang bermasalah, administrasi keluarga, pernikahan, perselingkuhan, bahkan urusan penentuan mahar calon manten yang ingin menikah selalu dimintai pendapat kepada kades. Singkatnya kades adalah figur yang arif dan bijaksana mengatasi semua persoalan.

Namun kini suasana desa sudah berubah. Suasana yang nyaman, aman dan damai hilang begitu saja. Pertengkaran, pertikaian, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan sudah menjadi kebiasaan. Kades yang dulu dikenal sebagai pengayom kini telah menjadi bagian dari semua persoalan. Culas, sombong, tidak adil yang sering ditampilkan membuat kharisma kades kurang dihargai.

Kades yang dulu dikenal sangat membantu mangatasi segala persolaan kini lebih suka mempersulit. Mengurus satu berkas saja, katakanlah untuk keperluan administrasi harus mengeluarkan sejumlah uang "seiklasnya saja", begitulah menuturkan. Belum lagi Fakta yang sering dialami masyakat tentang kesewenang-wenangan sudah menjadi rahasia umum. Aparat desa yang tidak patuh dengan perintah dengan mudah disingkirkan, bahkan dikucilkan.

Ketidakadilan sudah kebiasaan, dalam penetuan penerima bantuan apapun bentuknya termasuk program PKH yang sering hanya menjangkau anggota keluarga atau kroni-kroni kades yang sedang berkuasa. Pemotongan jumlah PKH sudah biasa, wajib hukumnya mengikuti aturan kades ini, tidak boleh dibantah kalau masih mau ikut di program yang sama berikutnya. Pun keserakahan yang semakin menjadi-jadi sudah menjadi tontonan. Proyek pembangunan desa dan lainnya selalu dikerjakan oleh kroni-kroni kades yang bisa diajak kompromi.

Pertanyaannya mengapa ini bisa terjadi, apakah karena masyarakat kita yang lalai?. atau memang kondisi ini disengaja untuk memperkuat legitimasi pemerintah pusat sampai daerah?. Saya tidak mau terlalu menduga-duga, saya juga masih yakin bahwa tidak semua kades berperilaku tidak terpuji, masih ada kades yang mampu menjadi panutan di masyarakat. Tulisan ini tidak sentiment, saya hanya mengungkap kades yang menyimpang dan menanggapi gejolak aspirasi yang meminta pertambahan masa jabatan 9 tahun beberapa waktu yang lalu. Yang katanya keinginan rakyat, meski belum diungkap rakyat yang mana yang menginginkan itu.

Kembali ke pertanyaan di atas, apakah karena masyarakat kita yang lalai?. atau memang kondisi ini disengaja untuk memperkuat legitimasi pemerintah pusat sampai daerah?.Jawabannya bisa iya bisa tidak. Saya mencoba mengurainya dengan mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Daron Acemoglu dan James Robinson dalam bukunya Why Nations Fail -- the Origin of Power, Prosperity and Poperty  (Mengapa Negara Gagal, Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan, 2012).

Penelitian yang dilakukan Daron dan Robinson selama 15 tahun ini secara cakupan memang cukup luas. Namun masih mencakup inti dari persoalan ini. Hasil yang mereka temukan bahwa kegagalan suatu negara atau wilayah disebabkan oleh institusi politik yang bersikap membatasi kemajuan itu sendiri, demi mempertahankan legitimasi kekuasaan yang lebih lama. Para penguasa sering membuat kebijakan hanya untuk menunjukkan kekuasaannya dengan mengorbankan rakyatnya.

Bila kita lihat relevansinya dengan kondisi politik desa yang terjadi saat ini, kita pasti temukan bagaimana hirarki kepemimpinan dari pusat sampai daerah selalu membawa kepentingan masing-masing dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Pola-pola yang dipakai adalah pemberian janji kesejahteraan dan juga sogok-menyogok ketika pelaksanaan pemilu.

Perpanjangan Masa Jabatannya 9 Tahun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun