Mohon tunggu...
Kurniasih
Kurniasih Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar dan penulis

Rinai Kinasih adalah Kurniasih. Menulis adalah untuk berbahagia. Tak lupa juga untuk mencintai pepohonan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karma Sri

13 Februari 2017   22:42 Diperbarui: 13 Februari 2017   23:18 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bu Sri bukan ibuku. Dia adalah wong cilik. Semula, dia adalah nenek sihir yang cerewet. Rambut yang tercecer di kamar mandi, minyak goreng yang berleleran di kompor gas, busa agar-agar yang melumuri pinggiran panci, jemuran yang ditinggalkan pemiliknya berhari-hari adalah sumber kemarahannya. Sambil membersihkan segala yang menurutnya kotor, bibirnya bergerak-gerak meluapkan kekesalan. Sepertinya tak ada yang ditahan-tahan di dalam hatinya. Tak peduli ada lawan bicara atau tidak, bibirnya komat-kamit melemparkan keluhan, berujung kemarahan. “Sakit dia ini,” benakku, ketika pagi pertamaku di kos-kosan ini. Telingaku terasa seperti dihadapkan pada kaleng yang dipalu-palu terdengar rombeng. Berbulan-bulan kemudian, kutahu siapa yang sebenarnya tidak sehat.

***

Bukan aku yang menyebutnya Wong Cilik. Suatu hari pompa air mogok mengalirkan air dari dalam sumur. Berulangkali Bu Sri menghubungi toko tempat pompa tersebut dibeli. Dia meminta agar pemilik toko mengirimkan tukang servis pompa. “15 anak kos ini kalau ngumpul semua bisa parah. Bisa-bisa mereka harus nimba air untuk mandi.” Dia bicara sendiri. Tentu saja. Seperti biasanya.

Orang yang ditunggu akhirnya datang juga. Seorang pemuda pendiam yang tampak lugu, membawa kantong keresek butut. Begitu pemuda itu diizinkan masuk area kos, Bu Sri langsung berpidato, “Lah Mas, bos-mu gimana toh? Aku nilpun ke sana kok malah dibentak-bentak! Aku ini kan Wong Cilik, mbok ya jangan dibentak-bentak begitu. Ya kalau mau, bos-ku ngomong sama bos-mu saja!” Pemuda lugu nan pendiam itu menyahut pun tidak. Sebenarnya aku menunggunya melayani omongan Bu Sri.

Seluruh udara hanya diwarnai oleh ocehan Bu Sri. Pikiranku yang mudah terganggu langsung tak sanggup berkonsentrasi. Jari jemari yang semula menari di atas huruf-huruf laptop seakan ingin berpindah menari di bibir Bu Sri. Kalimat demi kalimat mengudara dari bibirnya tanpa henti. Langit mendung, hujan turun. Suara Bu Sri tergantikan bunyi hujan. Pikiranku bisa kembali pada makalah yang sedang kutulis. Nasib para perempuan di luar sana tengah menunggu kusuarakan agar banyak pihak berkepentingan yang peduli.

***

Ibuku adalah contoh perempuan yang tidak bebas, apalagi Bu Sri. Mereka adalah para pelayan yang tak punya kebebasan untuk memutuskan pilihan hidupnya. Ibuku pernah mengeluhkan kelelahan yang menderanya, “Bantuin Mama sedikit saja dengan membereskan tempat tidurmu sendiri, atau mencuci piringmu. Mama tak bisa menyelesaikan semuanya sendirian, Nak.” Aku yang masih belia segera menyimpulkan, ibuku bukan perempuan bebas. Dia adalah pelayan keluarga. Aku tak mau seperti ibuku.

Ingatan-ngatan akan ibuku menjadi amunisiku untuk membela kaumku, membela keinginanku untuk menemukan kebebasan. “Ibu Angkatku” adalah perempuan cantik dari Prancis bernama Simone de Beauvoir. Dia bukan perempuan kebanyakan yang mau menjadi pelayan keluarga. Para perempuan serupa Beauvoir, entah dari Prancis atau Inggris adalah simbol kebebasan.

Menyendiri di kamar dengan setumpuk bacaan adalah kebebasanku. Aku bebas untuk berkarya semauku, kapan pun aku mau. Aku merasa dapat berjalan gagah memanggul kebebasan lalu memamerkannya ke seluruh semesta. Tetapi pikiranku mudah terganggu oleh sekadar omelan seorang penjaga kos yang mengaku dirinya adalah wong cilik. Makalahku seringkali macet karena mendengarkan ocehan dari bibir tua itu secara terpaksa.

***

Bu Sri, wong cilik itu berkoar-koar lagi di pagi hari. Keringat dingin bekas mimpi buruk semalam belum mengering dari dahi dan punggungku. Mataku terpaksa membuka melahirkan pening. Hatiku mengutuk-ngutuk ocehan di pagi hari yang lembab keringat ini. Kulihat jam di ponsel sudah menunjukkan angka 9. Perutku menagih sarapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun