Mohon tunggu...
Rimayanti Z
Rimayanti Z Mohon Tunggu... widyaiswara - Praktisi Pendidikan

Pengajar walau bukan guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Andai Gibran Bukan Putra Presiden

22 Juli 2020   23:06 Diperbarui: 23 Juli 2020   22:00 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gibran Rakabuming. Sumber Law Justice.co

Pengusungan Gibran Rakabuming Raka atau yang akrab di sapa Gibran putera Presiden Joko Widodo menjadi calon Walikota Solo menjadi perbincangan hangat diberbagai kalangan. Keputusan Gibran untuk maju pada Pilkada Solo 2020, serta dukungan yang diberikan oleh Jokowi terhadap puteranya tersebut menuai beragam tanggapan. 

Bagaimana tidak, status Gibran sebagai putera seorang presiden mau tidak mau melekatkan stereotip "putera mahkota" padanya. Setidaknya hal tersebut dinyatakan oleh politisi senior PDI perjuangan yang sedianya akan maju pada Pilkada Kota Solo 2020 Achmad Purnomo. Secara informal Achmad Purnomo menyatakan boleh jadi beliau gagal beroleh dukungan dari DPP PDIP untuk maju pada pilkada Kota Solo 2020 karena bukan putera presiden dan sudah tua.

Benarkah PDI Perjuangan mengusung Gibran sebagai calon Wali kota Solo hanya karena dia anak seorang Joko Widodo? Tentu saja hal ini dibantah oleh pihak PDI perjuangan. Proses penentuan Gibran menjadi calon walikota Solo dilakukan oleh pihak PDI perjuangan setelah melalui serangkaian mekanisme, termasuk fit n proper test  yang dilakukan pada Februari 2020 lalu.  Artinya PDIP menganggap Gibran layak untuk maju dibandingkan dengan calon lainnya. 

Apakah ini artinya hasil seleksi tersebut menunjukkan kapasitas dan kompetensi Gibran sebagai calon lebih baik dibandingkan dengan calon lainnya. Menafikan senioritas dan pengalaman dari kader partai lainnya yang telah bertahun berjuang bersama.

Agaknya rekomendasi partai memang tidak bisa lepas dari trah yang dipunyai oleh Gibran. Bicara tentang pengaruh trah atau silsilah dalam mendudukkan seorang pemimpin memang bukanlah hal baru di dunia ini. Dalam sistem monarki kita tahu persis bahwa tahta akan diberikan secara turun temurun terhadap anak keturunan raja. Dengan ketentuan umum bahwa sang putera mahkota adalah anak seorang permaisuri dan merupakan putera pertama.

Namun dalam implementasinya tetap saja ada beberapa pelanggaran yang dilakukan. Sebagaimana sejarah mencatat Jaya Negara yang menggantikan Raden Wijaya di Kerajaan Majapahit bukanlah anak dari seorang permaisuri bahkan bukanlah putera pertama dari Raden Wijaya.

Namun Dara Petak sebagai ibu dari Jaya Negara melakukan lobi  terhadap Raden Wijaya sehingga posisi pengganti raja beralih ketangan Jaya Negara. Selir Raden Wijaya ini berhasil meyakinkan sang raja agar memberikan predikat tahta kerajaan kepada anaknya.

Dalam beberapa nukilan sejarah dikatakan bahwa posisi tersebut diperoleh Jaya Negara setelah dia diangkat anak oleh sang permaisuri Dyah Sri Tribhuaneswari . Agaknya lobi politik memang sudah berlaku sejak lama. Faktor politik  seringkali menjadi penentu kartu biru untuk memperoleh rekomendasi sebagai calon penguasa. Kadang bisa jadi mengabaikan ketentuan, senioritas, dan kapabilitas dari seorang calon.

Dukungan bawaan seperti ini yang tidak dimiliki oleh Karna, Sang Radya yang dibesarkan oleh keluarga kusir kereta istana pada kisah Mahabarata. Walaupun pada kenyataan Karna adalah putera Kunti dan  Bathara Surya. Namun karena secara de jure beliau tidak memiliki status sebagai turunan ksatria, maka  Kripacharya tidak mengizinkan Karna bertarung dalam ajang memanah menantang Arjuna  pada pertandingan yang di gelar Dronacharya untuk murid-muridnya. Bukan karena Karna tidak mempunyai kemampuan memanah dengan baik. Sejatinya kemampuan memanah Karna bahkan berada di atas kelihaian Arjuna saat menarik busur dan membidik sasaran dengan anak panah. Walaupun  hanya belajar otodidak dan sembunyi-sembunyi. Artinya kapasistas memanah sesungguhnya dari Karna jauh di atas Arjuna yang dilatih oleh guru terpilih. 

Namun status dan silsilah Karna yang bukan turunan ksatria membuat dia tidak boleh ikut bertarung. Hanya karena dia anak seorang kusir, bukan turunan ksatria seperti Arjuna. Coba bayangkan, untuk bertarung saja sudah dilarang, apalagi untuk memenangkan pertarungan. Kelihatan sekali bahwa faktor keturunan amat menentukan dalam hal ini. 

Semoga bukan hal seperti ini yang menjadi pertimbangan PDIP ketika memutuskan memilih  Gibran bukan Achmad Purnomo sebagai calon Wali kota Solo dari kubu PDIP. Karena Gibran  sudah mengantongi kartu bawaan  sebagai  anak presiden. Sehingga dapat mengalahkan beberapa politisi senior PDIP lainnya untuk berlaga pada Pilkada Kota Solo. Apa boleh buat. Rekomendasi partai menjadi hal yang mutlak sebelum maju sebagai calon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun