Mohon tunggu...
Rimas Kautsar
Rimas Kautsar Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bismillah

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pemilihan Kepala Daerah: Kepentingan Politik Pemberantasan Korupsi vs Kepentingan Politik Anggaran

12 September 2014   18:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:53 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini kita disuguhi perdebatan panas mengenai wacana pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah (Pilkada) secara tidak langsung, dalam hal ini dipilih oleh DPRD Kota/Kabupaten atau DPRD Provinsi. Perdebatan ini menjadi memanas karena beberapa pihak menilai ini adalah manuver politik dari partai-partai anggota Koalisi Merah Putih untuk menjegal jalannya pemerintahan Jokowi-JK lima tahun yang akan datang, karena jika sampai Revisi UU Pemerintah Daerah yang mengadopsi konsep pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah secara tidak langsung ini gol maka partai-partai anggota Koalisi Merah Putih akan menguasai mayoritas Pemerintah Daerah di Indonesia. Analisis para pengamat politik yang berpendapat seperti ini sah-sah saja, namun bagi saya hal ini terasa naïf sebab sejarah Revisi UU Pemerintah Daerah ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan perdebatan tentang tata cara pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah ini adalah isu panas yang selalu memancing perdebatan sejak draft Revisi UU Pemerintah Daerah digulirkan oleh Kementerian Dalam Negeri jadi tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan hasil Pemilu Presiden/Wakil Presiden tahun 2014.

Orang-orang mengkritik sistem Pilkada dengan pemilihan oleh DPRD karena rentan korupsi, tapi Pemilukada langsung oleh rakyat atau Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) juga terbukti subur korupsi karena high cost politics, mulai dari praktik politik uang sampai penyiapan alat-alat kampanye dan biaya penyelenggaraan Pemilukada, masing-masing punya plus dan minus, menurut saya alasan bahaya korupsi dalam Pilkada oleh DPRD itu kurang relevan, saya pribadi lebih menyukai argumentasi Wagub DKI Jakarta Bapak Basuki Tjahaya Purnama, jika Pilkada oleh DPRD maka Kepala Daerah mempertanggungjawabkan kinerjanya pada DPRD sedangkan dalam Pemilukada langsung oleh rakyat ia bertanggungjawab kinerja pada rakyat, meskipun saya rasa hal ini masih bisa diperdebatkan juga, namun hal ini terasa lebih pas karena lebih populis sebab rakyat dapat berinteraksi langsung dengan calon-calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Namun, sebenarnya alasan utama Pemilukada langsung ingin diubah menjadi Pilkada oleh DPRD adalah: 1. dalam konstitusi tidak mewajibkan adanya pemilihan umum langsung dalam pemilihan Kepala Daerah, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Amandemen hanya menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis“; 2. Pemilukada langsung biayanya sangat tinggi sehingga Daerah yang APBD pas-pasan merasa terbebani anggarannya, akibatnya pos APBD yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat di daerah akan terganggu; 3. adanya ketidaksinkronan dalam konsep otonomi daerah, desentralisasi, pelimpahan wewenang, dan tugas perbantuan dalam konsep Pemerintahan Daerah saat ini, sebagai contoh otonomi daerah sejak awal didesain hanya pada level Kota/Kabupaten bukan Provinsi, pada level Provinsi lebih menitik beratkan padapelimpahan wewenang, dan tugas perbantuan, jadi sebagian kalangan menilai tidak tepat jika dalam memilih Gubernur/Wakil Gubernur itu dilakukan melalui Pemilukada langsung oleh rakyat, hal inilah yang ingin dikoreksi dalam Revisi UU Pemerintah Daerah.

Ada baiknya kita berpikir progresif dengan memunculkan kembali wacana KPK memiliki cabang di daerah, minimal bisa dibagi per wilayah, jika ada cabang KPK di daerah ditambah dengan adanya pengesahan RUU Perampasan Aset, maka akan lebih mudah mengontrol Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan DPRD, karena nantinya para Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD wajib menyetorkan profil harta kekayaan, jika ada penambahan kekayaan yang tidak wajar dan tidak bisa dijelaskan secara hukum dan logis rasional dari mana sumber kekayaan tersebut maka kekayaan mereka bisa langsung dimintakan perampasan aset oleh penegak hukum, jadi tidak perlu menunggu proses pidananya selesai yang pasti akan membutuhkan waktu yang lama dan standar pembuktian yang lebih tinggi, inilah penerapan dari konsep illicite enrichment dan asset forfeiture yang memiliki proses yang lebih sederhana dan standar pembuktian yang lebih rendah dibandingkan peradilan pidana.

Meskipun demikian kita juga tidak perlu anti terhadap Pemilukada langsung, karena yang diperlukan di sini adalah pemahaman jika Pilkada secara tidak langsung -dalam hal ini melalui DPRD- itu tidak menyalahi hukum karena pasalnya memang mengatur demikian, yaitu tidak mewajibkan Kepala Daerah dipilih melalui pemilihan umum. Perlu juga dipertimbangkan kritik terhadap konsep pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah melalui DPRD itu mirip dengan konsep demokrasi parlementer atau konsep pemilihan Presiden/Wapres era UUD 1945 pra amandemen, artinya ada celah untuk melemahkan cabang pemerintahan eksekutif di daerah, karena jatuh bangunnya pemerintahan eksekutif di daerah sangat dipengaruhi oleh dinamika politik dalam lembaga legislatifnya, meskipunpendapat ini masih bisa diperdebatkan, karena konsep supremasi demokrasi itu masih bisa diimbangi dengan konsep supremasi hukum (rechtstaat) jadi DPRD tidak bisa secara sewenang-wenang untuk memecat Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kecuali ada alasan hukum yang kuat untuk itu, artinya Pilkada oleh DPRD itu masih dalam koridor hukum dan demokrasi, sebab DPRD itu adalah wakil rakyat yang dipilih melalui proses yang demokratis yaitu pemilu secara langsung juga, dalam konteks ini kita tidak perlu alergi dengan konsep demokrasi perwakilan. Namun harus diakui dan menurut saya lebih ideal jika rakyat diberi kebebasan untuk memilih wakil-wakilnya di lembaga legislatif dan lembaga eksekutif secara langsung, karena ada kecenderungan fakta aktual pemenang pemilu bagi pengisian lembaga legislatif belum tentu memenangkan pemilu bagi pengisian pejabat di lembaga eksekutif, jadi situasi yang demikian akan menimbulkan perimbangan kekuatan politik (balance of power) antara dua cabang kekuasaan tadi, sehingga fungsi kontrol antar cabang kekuasaan di Pemerintahan Daerah akan lebih menggigit.

Di sisi lain, soal politik anggaran di daerah, perlu dipertimbangan secara serius sebuah solusi yang terinspirasi dari putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, yaitu penyelenggaraan pemilu secara serentak antara Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Dalam pandangan saya semangat progresivitas pemilu secara serentak bisa dimaknai juga sebagai dilasanakannya pemilu serentak di pusat dan di daerah, dengan demikian pemilihan umum DPRD dan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dilaksanakan serentak bersama-sama dengan pemilihan umum DPR, DPD, dan Presiden/Wapres, jadi ongkosnya akan lebih murah sebab biaya distribusi logistik pemilu dan biaya penyelenggaraan pemilu lainnya bisa dipangkas, sehingga pengeluaran untuk pemilu cukup 1 kali saja dalam periode 5 tahunan, namun kendalanya pemilu kita akan menjadi pemilu paling rumit di dunia. Meskipun kabar baiknya, menurut saya dalam perspektif penyelesaian sengketa Pemilu hal ini kemungkinan akan lebih mudah, sebab MK melalui putusan No. 97/PUU-XI/2013 sudah menyatakan MK tidak berwenang lagi memutus sengketa Pemilukada, jadi beban penanganan perkara Pemilukada bisa didistribusikan kepada lembaga peradilan lainnya seperti MA beserta jajaran peradilan di bawahnya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun