Mohon tunggu...
Rimas Kautsar
Rimas Kautsar Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bismillah

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kenapa Beli Rumah Harus dengan DP?

19 Februari 2017   13:29 Diperbarui: 20 Februari 2017   17:37 1836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Kenapa sich beli rumah harus ada DP? Saya juga bertanya-tanya, sebab selama ini DP atau Down Payment (uang muka) rumah itu saya rasakan juga cukup memberatkan, di sisi lain Bank sebagai pihak yang memberi kredit kepemilikan rumah sebenarnya punya jaminan cukup kok atas pinjaman KPR, ya rumah itu sendiri, di sisi lain syarat pengajuan KPR itu juga sangat ketat dan jangan tanya bunganya, karena setahu saya bunga KPR itu lumayan tinggi, jika anda tidak dapat bunga promo dari bank maka silakan anda rasakan "nikmatnya" merasakan bunga floating (jika anda ambil KPR di bank konvensional).

Memang benar bank itu adalah lembaga keuangan jadi core bisnis bank itu intermediasi keuangan bukan jualan rumah (saya teringat kasus subprime mortgage di Amerika Serikat di mana bank secara sembrono menyalurkan kredit kepada orang-orang yang secara kriteria tidak memenuhi syarat untuk mengambil kredit rumah, di saat terjadi krisis subprime mortgage orang-orang ini mengalami default kredit sehingga bank menarik jaminan kredit rumah tersebut, bank akhirnya kebanjiran jaminan rumah namun kekeringan likuiditas sehingga menjadi collapse). Saya pribadi mengapresiasi wacana yang dilontarkan oleh Bapak Menko Perekonomian dan Menteri Agraria bahwa aksi spekulasi tanah adalah penyebab kenaikan harga tanah dan rumah yang gila-gilaan sehingga generasi milenial seperti saya akan kesulitan dalam memiliki rumah. 

Fakta, setahu saya jika seseorang pegawai bisa membeli rumah maka itu seperti kredit "seumur hidup" sebab jangka waktu cicilannya bisa 10 - 20 tahun, istilahnya rumah baru lunas jika pegawai yang bersangkutan sudah menjelang pensiun, sebab jika seorang pegawai harus mengambil rumah dalam kondisi belum memiliki uang yang cukup untuk DP rumah maka yang bersangkutan harus membayar biaya sewa kontrakan tempat tinggal dan menabung untuk DP rumah, jadi pada dasarnya memiliki bebannya ganda (saya rasa beban ganda ini dirasakan oleh mayoritas pegawai kelas menengah ke bawah), jika tabungan dirasa sudah cukup barulah bisa mengajukan KPR, jadi ya beban pegawai untuk ambil KPR itu tidak semata-mata karena kenaikan harga rumah yang gila-gilaan akan tetapi juga mekanisme untuk menabung uang untuk DP beli rumah itu sendiri di samping harus bayar sewa/kontrakan juga merupakan suatu beban tersendiri juga. Anda bisa bayangkan berapa persen dari penghasilan anda digunakan untuk membayar sewa kontrakan tempat tinggal dan menabung untuk DP rumah. 

Sebagai contoh harga apartemen sederhana dengan 2 kamar tidur di lokasi DKI Jakarta yang dipasarkan dengan harga di kisaran Rp 400.000.000,- s.d. Rp 500.000.000,- (saya mengambil contoh apartemen sebab sudah sangat sulit mencari stok rumah tapak di harga Rp 450.000.000,- s.d. Rp 500.000.000,- di kawasan DKI Jakarta, rumah tapak dengan kisaran harga itu biasanya ditawarkan di wilayah penyangga DKI Jakarta seperti Depok, Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bogor) dengan aturan yang sekarang maka anda akan dikenakan DP sebesar 20% dari harga apartemen, itu sekitar Rp 90.000.000,- nah, jika anda memiliki penghasilan Rp 6.000.000,- otomatis setidaknya anda menganggarkan uang Rp 1.000.000,- untuk menabung DP rumah/apartemen dan kira-kira Rp 1.500.000,- untuk menyewa rumah kontrakan per bulan, dan ini anda lakukan dalam kurun waktu 90 bulan atau sekitar 7 tahun 6 bulan, itu artinya 41,67% pendapatan anda digunakan untuk mengikuti skema menabung dulu untuk DP rumah dan menyewa rumah kontrakan.

Selanjutnya muncul potensi masalah lainnya, yaitu apakah dalam kurun waktu 7 - 8 tahun kedepan masih ada pasokan harga apartemen sederhana dengan dua kamar tidur di kisaran harga Rp 450.000.000,- s.d. Rp 500.000.000,- meskipun konon di tahun 2016 di DKI Jakarta sudah mulai mengalami over supply apartemen, namun apakah ini menjadi jaminan bahwa 7 - 8 tahun kedepan tidak ada kenaikan harga apartemen secara signifikan?

Di sisi lain faktanya kenaikan gaji pegawai tidak semelesat kenaikan harga-harga barang dan inflasi, seringkali memang disadari atau tidak gaji atau upah di Indonesia memang di-create sedemikian rupa sehingga cukup rendah untuk mendukung iklim investasi yang kompetitif dengan negara-negara tetangga (investor seringkali mengancam untuk angkat kaki dari Indonesia jika buruh dan pegawai unjuk rasa menuntut naik gaji terus). Ada pengecualian bagi anda yang bekerja di sektor yang menguntungkan secara finansial di mana anda secara khusus mendapatkan bonus tahunan atau tunjangan khusus sehingga bisa mendongkak pendapatan sehingga bisa memliki kelebihan uang yang cukup untuk ditabung, namun hal ini saya pikir bukan merupakan suatu kenikmatan yang dirasakan oleh mayoritas pegawai di DKI Jakarta atau mungkin di seluruh wilayah Indonesia. 

Persoalan lain, saya sering melihat teman-teman saya di LBH membantu mengadvokasi keluarga para pensiunan yang diminta pergi meninggalkan rumah dinas (karena memang sudah bukan hak-nya lagi) tapi mereka dengan gigih berusaha bertahan, dengan alasan mereka tidak punya rumah lagi, nah ini jadi tanda tanya saya, kenapa bisa para pensiunan ini meninggalkan keluarganya tanpa rumah yang menjadi hak milik keluarga mereka dan terus tinggal di rumah dinas?

 Saya pikir kemungkinan besar banyak di antara kita yang berprofesi sebagai pegawai terpaksa membuat suatu skala prioritas kebutuhan hidup terutama bagi mereka yang sudah berumah tangga dan sudah dikaruniai anak, di mana tingkat kebutuhan hidup naik dan memaksa kita mengorbankan tabungan yang dimiliki sehingga kita bisa saja tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membayar DP rumah, meskipun tidak tertutup kemungkinan ada faktor lain misalnya sifat boros menghambur-hamburkan uang yang dimiliki untuk membeli barang "mewah" yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan dan pada kurun waktu tertentu nilai jual dari barang "mewah" tersebut turun secara drastis sebab adanya kemajuan teknologi dan pergantian tren dan gaya hidup masyarakat.

Sejauh ini ada calon kandidat gubernur yang menawarkan program DP kepemilikan rumah 0% dengan mekanisme menabung dulu di bank dalam kurun waktu tertentu kemudian menggandeng bank untuk penyaluran KPR-nya (perlu adanya penjelasan lebih detil soal tawaran program ini karena banyak juga kalangan yang meragukannya namun dalam kondisi serba sulit seperti ini kita patut mendengar dan mempelajari gagasan inovatif yang bisa meringankan beban rakyat), terhadap hal ini ada tanggapan dari Gubernur BI bahwa secara aturan pengenaan DP property 0% itu dilarang sehingga akan mendapat teguran dari otoritas, demikian halnya Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang menyatakan bahwa hal itu hampir mustahil dilakukan dengan alasan uang muka 0, kemungkinan KPR bermasalah akan tinggi dan tentu hal tersebut tidak baik bagi bank pemberi KPR dan juga terhadap perekonomian nasional. Di sisi lain, menurut kalangan pengembang property kebijakan DP kepemilikan rumah 0% bisa saja dilakukan jika pemerintah memberikan subsidi atau insentif bantuan kepada para pengembang, meskipun ada pertimbangan skeptis bahwa hal ini sulit sebab pemerintah saat ini lebih memprioitaskan anggaran untuk membangun infrastruktur dibandingkan memberikan subsidi.

Saya pikir wacana DP kepemilikan rumah 0% ini harus diangkat untuk diperdebatkan secara nasional, apakah hal ini mungkin atau tidak secara hukum dan manajemen risiko dari aspek keuangan, sebab kebutuhan yang paling dasar dari manusia itu kan tiga: (1) pangan; (2) sandang; dan (3) papan, jika anda punya pangan dan sandang namun tidak punya papan, lalu apa bedanya status anda dengan tunawisma?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun