Mohon tunggu...
Rima Gravianty Baskoro
Rima Gravianty Baskoro Mohon Tunggu... Pengacara - Beyond tradition, beyond definition, beyond the images

Research Assistant of Prof. John Vong || PERADI Licensed Lawyer. ||. Master of Public Policy - Monash University || Bachelor of Law - Diponegoro University || Associate of Chartered Institute of Arbitrators. ||. Vice Chairman of PERADI Young Lawyers Committee. ||. Officer of International Affairs Division of PERADI National Board Commission. ||. Co-founder of Toma Maritime Center.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perlindungan Hak Hukum Perempuan dalam Transaksi dan Pengelolaan Tanah di Indonesia

6 September 2021   07:28 Diperbarui: 6 September 2021   08:23 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Disusun oleh:

Ayu Nadiariyani, S.H.,L.LM. dan Rima Baskoro, S.H., ACIArb.

Abstrak

Tanah memiliki hubungan yang sangat fundamental bagi manusia dalam pemenuhan kebutuhan primer, dan merupakan salah satu komponen capital asset di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Tingkat ketidaksetaraan yang tinggi dalam kepemilikan dan pemanfaatan tanah dipercaya sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Dari sekitar 270,2 juta penduduk, sekitar 26,42 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Posisi strategis tanah sebagai salah satu aset penting dalam kehidupan, khususnya dalam hal pertahanan ekonomi keluarga, mendorong Pemerintah untuk terus meningkatkan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat untuk memiliki dan memanfaatkan tanah. Akses terhadap kepemilikan dan pemanfaatan tanah berpotensi besar dalam peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, akses permodalan, mendukung produksi pertanian, maupun fungsi sosial lainnya seperti akses terhadap kesehatan, pendidikan maupun kewirausahaan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 49,42 % penduduk Indonesia adalah perempuan, dimana sekitar separuh dari jumlah tersebut berada di usia produktif. Sumbangan pendapatan perempuan terhadap perekonomian diperkirakan sejumlah 36,7 %, dimana pengeluaran perkapita perempuan tidak sampai 60 % dari pengeluaran perkapita laki-laki (BPS, 2018). Hal ini disebabkan oleh porsi perempuan yang relatif rendah pada beberapa lapangan usaha dengan tingkat produktivitas tinggi, sehingga diperlukan adanya tindakan afirmatif untuk meningkatkan kesadaran atas peran perempuan dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi bangsa. Selain itu, memperlakukan laki-laki dan perempuan pada posisi yang setara dalam perolehan dan pengelolaan tanah di Indonesia memiliki peranan penting sebagaimana perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sehingga bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dapat dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kentalnya budaya patriaki di lingkungan masyarakat dimana perempuan dinilai memiliki peran utama dalam urusan rumah tangga, sementara urusan tanah dianggap sebagai urusan laki-laki, mengakibatkan terbatasnya akses informasi bahwa Pemerintah sudah memfasilitasi kesetaraan gender dalam kepemilikan tanah. Penerbitan sertipikat tanah diperbolehkan atas nama suami atau istri maupun keduanya, sehingga laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama. Selain itu, peralihan hak atas tanah juga mengharuskan adanya persetujuan suami atau istri dari pemegang hak atas tanah.

Namun demikian, keharusan dalam memperoleh persetujuan suami dalam peralihan hak atas tanah serta adanya pembatasan istri untuk mengadakan persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 ayat (3) KUHPerdata di sisi lain dapat menghambat transaksi dan pengelolaan hak atas tanah dalam kondisi tertentu, khususnya apabila tanah dimaksud diperoleh setelah perkawinan.

Kontroversi Pembatasan Hak Hukum Perempuan Dalam Transaksi Dan Pengelolaan Hak Atas Tanah di Indonesia

Sekeras apapun gaung soal persamaan gender terkait hak hukum atas transaksi dan pengelolaan tanah di Indonesia, tetap faktanya ada ketentuan Pasal 1330 ayat (3) KUHPerdata yang mengatur bahwa seorang istri dikualifikasikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap untuk mengadakan persetujuan. Konsekuensinya adalah jika ada seorang istri mengadakan persetujuan, perjanjian penjualan tanah misalnya, berdasarkan ketentuan Pasal 1330 ayat (3) KUHPerdata maka persetujuan tersebut menjadi batal demi hukum karena tidak memenuhi persyaratan sahnya persetujuan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 1320 KUHPerdata. Artinya, tetap untuk melakukan persetujuan, harus berdasarkan pengetahuan dan persetujuan suami, termasuk persetujuan yang objeknya adalah tanah seperti misalnya: jual beli, sewa, hibah, dll

Praktek di lapangan, dalam hal transaksi tanah yang perolehannya terjadi saat seorang perempuan menjadi istri, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1330 ayat (3) Jo. Pasal 1320 KUHPerdata dan prinsip harta bersama, tetap seorang istri butuh persetujuan suami. Salah satu transaksi tanah tersebut antara lain ketika istri ingin menjual tanah ataupun menyewakan tanah yang diperoleh saat dalam perkawinan, maka perbuatan hukum seorang istri atas tanah tersebut harus berdasarkan pengetahuan dan persetujuan suami. Dengan kata lain, meskipun tanah tersebut dibeli dari penghasilan jerih payah istri saja (tanpa meminta uang dari suami), tapi tetap untuk pengelolaan maupun transaksinya seorang istri tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakannya berdasarkan keputusan dan pertimbangan si istri sendiri.

Bukan hanya itu, dalam hal terjadi hutang suami yang sudah jatuh tempo dan tidak bisa diselesaikan, maka ada kemungkinan penyitaan aset tanah yang dibeli dengan hasil jerih payah istri. Penyitaan aset tanah istri atas hutang suami tersebut pada prakteknya banyak sebagai bentuk pelunasan hutang suami yang hutangnya belum tentu digunakan untuk keperluan kebutuhan primer keluarga. Maka jelas masih terdapat permasalahan atas jaminan dan kepastian hukum bagi seorang istri yang telah mengupayakan kepemilikan tanah dengan kerja kerasnya sendiri untuk bisa bergerak bebas mengelola tanahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun