Mohon tunggu...
Rilo Pambudi
Rilo Pambudi Mohon Tunggu... Lainnya - Penggembala Angin

Pembual paruh waktu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulang Tepat Waktu

1 April 2021   15:47 Diperbarui: 2 April 2021   20:05 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah Tri dan Catur berangkat sekolah, waktunya Mak Utt bersiap ke pabrik. Tugas pagi wanita paruh baya itu tuntas.

"Mar, badanmu masih panas le?"

"Enggak mak, sudah mendingan," kata Damar berusaha tampak baik-baik saja.

"Syukurlah semoga lekas membaik, nasi dan lauk ada di meja. Segara makan, kucing-kucing itu biasanya tak kurang akal. Emak berangkat dulu," ucap Mak Utt seraya bergegas.

Damar terbaring sendirian di rumah, ia sesekali merintih merasakan sakit yang sejak malam sengaja ditahan. Badannya keju, suhu tubuhnya tinggi, namun ia seperti merasakan kedinginan yang teramat. Ia masih berselimut sarung. Ternyata, sakitnya itu ditengarai patil ikan sembilang yang sempat mengenai jempol tangannya saat memancing di dermaga kemarin petang.

Meski sehari-hari berjibaku dengan ikan, ini pertama kalinya Damar terkena patil beracun dan jatuh sakit. Dalam sakitnya, remaja yang juga ikut menjadi tulang punggung keluarga itu merenung-renungkan nasib. Pikirannya melambung ke mana-mana dan meloncat-loncat. Terbayang masa depan, sekolah, keluarga, dan bahkan membayangkan mati konyol karena racun ikan.

Sorot matahari pagi yang menerobos celah-celah diding gedek (anyaman bambu) menghangatkan badannya. Ia merenung bagaimana jadinya keluarga miskin itu bila dirinya tiada. Efek demam tinggi terkadang memang membuat orang berhalusinasi dan berpikir ke mana-mana. Ia juga terngiang dan menerka-nerka nasib kakaknya di perantauan yang tanpa pernah kabar.

Kehidupan keluarga kecil ini sebenarnya cukup memilukan. Upah harian Mak Utt hanya cukup untuk mengganjal perut 3 orang anaknya. Karena itu, Damar menjadi kuli panggul ikan di pasar, fajar sampai pagi sebelum berangkat sekolah. Hal itu setidaknya sedikit bisa mencukupi biaya sekolahnya sendiri.

Ayah Damar meninggal teggelam lima tahun silam saat menyelamatkan putera sulungnya, Utomo, kakak Damar yang kini minggat. Perahu yang digunakan melaut bapak dan anak itu pecah digulung ombak saat musim angin barat. Ombak di laut utara Jawa umumnya memang dikenal anteng-anteng saja. Tapi bila musim angin tiba, tak kalah ganasnya dengan Samudera Hindia. Nelayan biasanya memilih menjangkarkan perahunya dan bisa libur melaut berminggu-minggu. Jenazah ayah Damar ditemukan sehari kemudian di pantai kampung sebelah.

Tragedi nahas itu membuat Utomo yang selamat dan sempat melihat sang ayah tenggelam disapu ombak tepat di depan matanya menjadi trauma berat. Utomo mengalami depresi dan memutuskan berhenti sekolah saat usianya sama dengan Damar sekarang. Anak-anak Mak Utt telah dididik keras oleh keadaan yang seolah tak pernah berpihak sejak kecil. Lahir menjadi anak di keluarga miskin, Utomo dan Damar mesti bekerja agar bisa meneruskan pendidikan setelah tingkat sekolah dasar.

Dulu, selain ikut melaut ayahnya saat libur sekolah, Utomo juga menjadi kuli panggul ikan seperti Damar sekarang. Berangkat pukul dua atau tiga dini hari, dan pulang tepat setegah jam sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Sedangkan Damar yang kala itu baru masuk SMP, kerap menjadi tenaga suruhan saat ada yang ingin memanen kelapa. Skill memanjatnya sedikit banyak bisa menambah pemasukan untuk membayar buku LKS-nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun