Mohon tunggu...
Rikza Junia
Rikza Junia Mohon Tunggu... -

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Topeng Malang

27 Mei 2015   08:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:33 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

A.Konsep Kebudayaan

1.Pengertian Kebudayaan

Kata kebudayaaqn, berasal dari terjemahan kata kultur. Kata kultur dalambahasa latin Cultura berarti memelihara, mengolah, dan mengerjakan. Dalam pembahasan ini cakupan tentang kebudayaan menjadi sangat luas, seluas hidup manusia. Hidup manusia akan memelihara, mengolah dan mengerjakan berbagai hal yang menghasilkan tindak budaya. Karena tu, konsep kebudayaan menjadi sangat beragam dan meloncat-loncat. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Kroeber dan Kluckhohn (Alisjahbana, 1986:207-208), bahwa definisi kebudayaan dapat digolongkan menjadi 7 yaitu :

Pertama, kebudayaan sebagai keseluruhan hidup manusia yang kompleks, meliputi hokum, seni, moral, adat-istiadat dan segala kecakapan yang lain, yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kedua, menekankan sejarah kebudayaan, yang memandang kebudayaan sebagai warisan tradisi. Ketiga, menekankan kebudayaan yang bersifat normative, yaitu kebudayaan dianggap sebagai cara dan aturan hidup manusia, sepeerti cita-cita, nilai dan tingkah laku. Keempat, pendekatan kebudayaan dari aspek psikologis, kebudayaan sebgai langkah penyesuaian diri manusia kepada lingkungan sekitarnya. Kelima, kebudayaan dipandang sebagai struktur, yang membicarakan pola-pola dan organisasi kebudayaan serta fungsinya. Keenam, kebudayaan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan. Kebudayaan adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan, misalkan manusia pintar menggunakan symbol dan komunikasi sedangkan hewan tidak. Ketujuh, definisi kebudayaan yang tidak lengkap dan kurang konsisten.[1]

Pembatasan ini sebenarnya hanya ingin menyatakn bahwa kebudayaan itu sangat lebar cakupannya. Kebudayaan merupakan sesuatu yang tidak terbatas pada hal-hal yang kast mata tentang manusia, melainkan juga menyangkut hal-hal yang abstrak. Dari lahir sampai mati, manusia akan menciptakan budaya, hasil ciptaan tersebut dinamakan budaya produk atau sering disebut budaya material. Sedangkan budaya yang sifatnya abstrak, akan tampak pada proses budaya itu sendiri. Itulah sebabnya sering dinmakan budaya sebagai proses aatu immaterial. Budaya immaterial juga seringg disebut budaya spiritual yang bersifat batiniah. Budaya sebagai produk dan proses, pada dasarnya akan mencakup nilai kultural, norma, dan hasil cipta manusia. Karena itu pada tataran tertentu buadaya dapat digolongkan menjadi tiga dimensi yaitu :

1.Dimensi kognitif (budaya cipta) yang bersifat abstraka, berupa gagasan-gagasan manusia, pengetahuan tentang hidup, pandangan hidup, wawasan kosmos.

2.Dimensi evaluatif, yaitu menyangkut nila-nilai dan norma budaya, yang mengatur sikap dan perilaku manusia dalam berbudaya, lalu membuahkan etiaka budaya

3.Dimensi simbolik berupa interaksi hidup manusia dan symbol-simbol yang digunakan dalam berbudayaan.

Dalam mempelajari kebudayaan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri, dan sifat manusia yang suka berubah pikiran begitu pula kaitannya dengan kebudayaan akan berubah, karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang given (telah, ada, jadi) melainkam diciptakan dan akan berubah sesuai zamannya. Itulah sebabnya transformasi kebudayaan yang mengikuti waktu dan ruang (space) sangat mungkin. Misalnya, dalam pembahasan ini tentang budaya topeng di daerah malang yang perlu untuk dilestarikan. Ruang dan waktu atau disebut juga lingkungan budaya akan besar pengaruhnya terhadap budaya.

2.Ciri Umum Suatu Kebudayaan

Menurut Featherstone, ada tiga konteks kebudayaan yang perlu diperhatikan yaitu :

-Produksi kebudayaan. Kebudayaan itudiciptakan (diproduksi ) berdasarkan pertimbangan konsumen . Jika konsumen penuh maka muncul kebudayaan baru. Jika konsumen semakin tertariktertarik, muncul pula budaya inovasi .

-Socio-genesis kebudayaan. Kebudayaan akan terikat oleh boundary (lingkup) yang mengitari. Lingkup social akan menciptakan produk budaya yang lain, kareana di antara unsur social budaya tersebut merasa saling terkait. Bahkan, di antara unsur saling ada ketergantungan kepentingan.

-Psicho-genesis kebudayaan. Kebudayaan dapat muncul dari dorongan kejiwaan. Karena itu muncul budaya-budaya lembut yang bersifat spiritual. Budaya seperti merupakan tuntutan alamiah naluri jiwa manusia sebagai pemenuhan kebutuhan batin. Kadang-kadang kebudayaan seperti ini, jauh dari kepentingan material, melainkan pada kepuasan batin.

Dari ketiga penjelasan di atas, bahwa kebudayaan dan konteksnya sangat luas. Kebudayaan dapat mencakup segala aspek kehidupan manusia. Kebudayaan boleh dikatakan sebuah disiplin keilmuan yang “serakah”, karena segala hal yang terkait dengan manusia hamper diklaim sebagai kebudayaan. Namun itu tidak berarti bahwa kebudayaan adalah sebuah “keranjang sampah”, kendati semua hal dapat masuk di dalamnya. Kebudayaan adalah femonema pilihan hidup, baik pilihan budaya baik maupun budaya jelek. Budaya baik dan jelek akan selalu adasepanjang manusia ada.

Kebudayaan memang ihwal yang tidak pernah tuntas dibatasi. Pembatasan kebudayaan hanyalah akn sia-sia, sejauh manusia itu ada. Karena sejauh itu pula kebudayaan akan eksis dan berkembang. Kebudayaan terus menggelinding dan berjalan menurut porosnya, sebagimana makhluk hidup yang lain. Kebudayaan akan senantiasa bercabang-cabang, seperti tumbuhan yang bersemi, sehingga tampak rimbudan penuh arti. Maka memaknai kebuddayaan lebih bersifat tentative, tidak pernah abadi.

3.Demokrasi dan Kebudayaan

Kegagalan untuk memulihkan diri sekitar tahun 1997-1998 dianggap berasal dari terpusatnya (centralized) pengambilan keputusan, hingga banyak pihak yang merasa diabaikan. Ideologi dalam system budaya adalah sebuah keyakinan yang juga merupakan pembenaran (justification) dan akses dalam memakai berbagai sumber daya kemasyarakatan (socio-political recources) yang telah ada. Upaya penerapan pengambilan keputusan yang demokratis yang mengarah pada munculnya Undang-Undang Otonomi Daerah didasarkan pada pemikiran bahwa semua wilayah memiliki hak yang sama, dengan kekhasan yang berbeda dan tidak seperti yang yang dibyangkan oleh Pusat. Untuk itu dengan otonomi daerah, keputusan di pusat dirubah ke tingkat provinsi-kabupaten dengan menyertakan daerah-daerah bagiannya (kecamatan dan desa atau kelurahan). Secara umum ideology merupakan gagasan dalam kebudayaan yang dengan sadar diciptakan dan disusun sebagai pedoman untuk warga suatu Negara sedangkan ideologi demokrasi adalah keyakinan, yang menganggap semua warga Negara behak menetukan kabijakan, dan dalam halini diterapkan dengan bentuk pemerintahan atau organisasi.

Jakob Oetama melalui naskahnya “Demokrasi dan kebudayaan” dia menyatakan bahwa fenomena sejarah dimuka bumi berupa globalisasi yang didukung oleh teknologi dan informasi. Hubungan antara bagian muka bumi menjadi mudah untuk dilintasi dengan cepat senhinnga memerlukan kemampuan untuk menyesuaikan diri agar tetap eksis, dan disini diperlukan pola yang mengarah ke kebudayaan yang progresif dan meninggalkan bentuk kebudayaan yang bersifat statis. Perubahan ini perlu kehati-hatian hingga tetap mampu untuk menandai sebuah “kejelasan yang kabur” pada alternative politik. Contohnya dalam kutpan Jakob Oetama atas pernyataan sosiolog Guatemala yaitu Bernard Arevallo : We have the hardware of democracy but (also) the software of Authoritarianism”. Hardware yang dalambentuk undang-undang dan aturan tertulis akan mengalami penyimpangan dalam pelaksanaannya, jika pelakunya memiliki authoritarian software of mind.

Ahmad Fedyani Saifudin dalam pembahasannya tentang otonomi dan pendidikan menyampaikan beberapa kritik. Pemerintah otonomi sendiri menghadapi masalah dalam mememnuhi ekspektisi untuk mencapai keadaan yang demokratis. Hadirnya Otonomi Daerah dalam UU No. 22 tahun 1999 merupakan suatu langkah atau upaya pengembangan budaya demokrasi. Ada istilah yang kabur dalam membahas pemerintahan daerah seperti pihak legislative yang melaksanakan tugas eksekutif. Jika dalam setiap dokumen UU ada pasal-pasalnya, maka biasanya aka nada bagian yang menjelaskan secara mendetail, ternyata sering sejumlah pasal penjelasannya hanya diisi dengan prase “cukup jelas”. Pengabaian istilah dibentuk dan dipilih, yang dalam pelaksanaanya dapat menjadi suatu penyimpangan dalam UU tersebut tidak membahas mengenai kebudayaan.

B.Konsep Budaya Topeng

a.Pengertian Topeng

Seni tari topeng merupakan kesenian khas Indonesia yang sudah ada semenjak zaman nenek moyang. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki sejarah tentang pertunjukan menggunakan topeng. Di Jawa pertunjukan seni tari topeng telah dikenal semenjak tahun 762 Saka (840 M). Hal ini dijelaskan dalam prasasti Jaha dan di kala itu topeng dijadikan sebagai sarana utama ritual pemujaan dan pertunjukan yang dikenal dengan istilah Atapukan. Istilah lain yang juga sering digunakan yaitu istilah Raket, Manapel dan Popok. Dari beberapa istilah tersebut semuanya menjurus pada satu arti yaitu berarti penutup wajah yang pada saat ini juga bisa disamakan dengan arti kata ”Topeng.”

Dalam literatur lain disebutkan bahwa keberadaan topeng telah dikenal semenjak zaman kerajaan tertua di Jatim yaitu kerajaan Gajayana (760 Masehi) yang berlokasi di sekitar kota Malang. Tepatnya, kesenian ini telah muncul sejak zaman Mpu Sendok. Saat itu, topeng pertama terbuat dari emas, dikenal dengan istilah Puspo Sariro (bunga dari hati yang paling dalam) dan merupakan simbol pemujaan Raja Gajayana terhadap arwah ayahandanya, Dewa Sima .

Bersamaan dengan munculnya kesenian tari topeng yang telah diceritakan muncul pula kesenian bercerita yang dilakukan oleh para dukun (Samman) yang isi dari cerita itu merupakan kisah tentang sejarah perilaku nenek moyang suatu komunitas tertentu. Kesenian ini dinamakan Ringgit atau Aringgit. Adapun peran pencerita pada zaman sekarang lebih sering dilakukan oleh dalang. Proses penceritaan kisah tersebut menjadi sebuah wujud penghormatan bagi nenek moyang yang bersifat animistik dan sarana pemanggilan ruh. Hidayat menyebutkan :

Tari atau drama topeng dianggap sebagai sarana untuk pemanggilan roh – roh nenek moyang atau roh-roh baik untuk masuk merasuk ke dalam tubuh para penari. Sehingga para pelaku tidak lagi memainkan diri tetapi beralih sebagai wadah (tempat) hadirnya roh nenek moyang. Mereka datang untuk memberikan perbuatan baik atau menerima penghormatan (puja bakti).

Menurut KBBI, tari adalah gerakan badan yang berirama, biasanya diiringi bunyi-bunyian. Kemudian pengertian topeng adalah penutu muka yang menyerupai muka orang, binatang, dan sebagainya. Dalam “Tari Topeng Malang” dapat diartikan sebagai gerakan badan yang berirama dengan diiringi bunyi-bunyian dengan menggunakan penutup muka yang menyerupai orang yang berasal dari kabupaten Malang.

Kedungmonggo sebagai sebuah dusun di kaki gunung Kawi merupakan salah satu kantong persebaran seni budaya tari topeng Malang. Keberadaan kesenian tari topeng di dusun ini sekarang masih terbilang cukup terkenal jika dibandingkan dengan komunitas lain yang juga berada di wilayah gunung Kawi dan wilayah kabupaten Malang lainnya, yang letaknya lebih ke arah atas gunung Kawi. Hal ini didukung oleh letak geografis kawasan Kedungmonggo yang relatif mudah dijangkau oleh konsumen kesenian tari topeng karena jaraknya dari jalan raya Malang-Kepanjen hanya berkisar 500 meter ke arah barat. Tak ayal, kondisi ini membantu mempermudah proses sosialisasi hasil kesenian khas Malang ini kepada masyarakat umum, khususnya kepada penduduk Malang Raya.

Kondisi di atas secara eksternal juga didukung dengan polesan konstruksi budaya Hindu-Jawa di lokasi sekitar dusun Kedungmonggo mengingat akar sejarah kemunculan tari topeng adalah hasil ritual kebudayaan Hindu. Dukungan kultural ini bisa dirasakan karena di kawasan desa Karangpandan, induk dari dusun Kedungmonggo juga masih bisa ditemui pemeluk agama Hindu meskipun mayoritas penduduk sudah memeluk agama Islam. Polesan budaya tersebut bisa dilihat dari adanya bangunan pura yang saat ini jarang ditemui di wilayah Malang, yang berjarak tak lebih dari 300 meter dari pusat dusun Kedungmonggo. Selain itu di samping pura terdapat pula sekolah keagamaan hindu yang peserta didiknya adalah masyarakat sekitar Pakisaji.

b.Ciri Khas Topeng Malang

Malang adalah salah satu kota di Propinsi Jawa Timur yang terkenal karena kesejukan udaranya. Kota dan kabupaten dikelilingi oleh empat buah gunung, yaitu gunung Arjuna di sebelah utara, Gunung Tengger di sebelah Timur, Gunung Kawi di sebelah Barat, dan Gunung Kelud di sebelah selatan. Karena dikelilingi oleh beberapa gunung inilah maka kota Malang mempunyai tingkat kesejukan yang baik.

Sebagai kota yang begitu potensial sebagai tempat wisata dan budaya Malang memiliki kawasan yang sangat layak huni dan menjadi daerah yang elit sehingga wajar kiranya jika pada masa penjajahan Belanda Malang dijadikan kawasan strategis tempat tinggal ekspatriat Belanda di masanya. Penjelasan sejarah Malang sebagai jajahan Belanda sangat berpengaruh kelak terhadap proses tumbuh kembang kebudayaan lokal di wilayah Malang, seperti halnya pelaksanaan acara-acara wisata sejarah Malang yang tidak pernah meninggalkan kawasan jalan Kawi yang sampai saat ini dihuni oleh anak keturunan para penjajah Belanda.

Topeng yang berkembang di Malang memiliki ciri khas tersendiri dibanding topeng yang berasal dari daerah lain. Berikut ciri khas topeng Malang (dikutip dengan beberapa perubahan dari Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1991 / 1992, hal : 252).[2]

1.Bentuk Hidung

Karakter topeng Malang salah satunya diwujudkan dalam bentuk hidung. Bentuk hidung seperti pagot (pisau alat pengukir) kecil mencerminkan watak lembut. Bila menyerupai pagot ukuran sedang atau menyerupai ujung parang mencerminkan tokoh yang gagah berani. Sedang hidung pesek, kecil menunjukan watak penuh pengabdian, biasanya untuk tokoh punakawan.

2.Bentuk Mata

Mata topeng berbentuk butir padi menunjukan tokoh jujur, sabar, lembut, gesit, dan perwira. Berbentuk seperti biji kedelai menunjukan tokoh perwira, tangkas, pemberang, gagah berani yang biasanya terdapat pada tokoh satria. Bentuk mata yang mentheleng (membelalak) menunjukan tokoh yang pantang mundur, gagah berani. Bila topeng bermata besar dan melotot menunjukan watak gagah perkasa, keji, angkara murka, dan sebagainya.

3.Bentuk Bibir dan Mulut

Bibir atau mulut juga meunjukan karakter tokoh – tokoh, antara lain bibir tekatup menunjukan tokoh berwatak gagah berani, sedikit terbuka menunjukan watak watak lembut dan luhur budi. Topeng berbibir terbuka dengan deretan gigi menunjukan tokoh berwatak sok gagah, sok berani. Mulut topeng terbuka lebar, gigi tampak, kadang – kadang bertaring menunjukan watak galak yang angkara murka.

4.Warna Topeng

Warna juga dimaksudkan untuk mengambarkan karakter tokoh. Warna merah menunjukan tokoh berwatak angkara, jahat, berani. Merah jambu menggambarkan tokoh yang keras hati, warna biru tua menunjukan tokoh dengan kekuatan magis, biru telur menunjukan tokoh baik hati, putih menunjukan kesucian, dan hitam menggambarkan tokoh yang bijak dan teguh.

c.Pelestarian Topeng Malang Sebagai Wujud Perlindungan Budaya

Salah satu pusat persebaran seni tari topeng di tanah Jawa adalah di wilayah Malang, di mana dahulu terdapat kerajaan yang bernama kerajaan Singosari. Murgiyanto dan Munardi dalam penelitiannya menyebutkan bahwa awal mula dikenalnya tari topeng di wilayah Malang terjadi pada abad ke-13 Masehi, yaitu pada periode pemerintahan raja Kertanegara . Sejak saat itulah seni tari topeng yang berada di daerah Malang dinamakan sebagai tari Topeng Malang.

Adapun bukti mengenai keberadaan tari topeng di masa kerajaan Singosari adalah adanya relief di beberapa candi peninggalan kerajaan Singosari yang dalam relief tersebut digambarkan suasana di dalam lokasi kerajaan yang di dalamnya dimainkan tarian bertopeng. Dalam relief tersebut para penari topeng memakai atribut endhong (sayap belakang), rapek (hiasan setengah lingkaran di depan celana, lazim juga disebut pedangan), bara-bara dan irah-irahan (mahkota) yang bentuknya sama dengan kostum tari topeng di masa sekarang.

Malang sebagai bagian dari kota sejarah kerajaan Jawa (Singosari) dahulu banyak memiliki komunitas tari topeng di tiap-tiap daerah. Semasa penjajahan Belanda beberapa komunitas tersebut muncul kembali setelah sekian lama jejak kesejarahan mereka tidak tercatat oleh pewarta hasil budaya. Tak kurang dari 11 komunitas dahulu pernah meramaikan budaya kesenian tradisional Malang. Namun seperti yang telah disebutkan di atas bahwa perguliran sejarah dari kebudayaan Hindu-Jawa menjadi kebudayaan Islam menjadi salah satu sebab kemunduran eksistensi kesenian ini di tanah Jawa, tidak terkecuali di wilayah Malang.

Praktek Empiris

Sampai saat ini, di wilayah Malang Raya komunitas tari topeng hanya bisa ditemui sedikitnya 4 komunitas yang aktif berkesenian. Itupun berada di wilayah-wilayah pelosok. Namun dari data wawancara dengan beberapa akademisi yang dikumpulkan ada kesatuan paham yang menjurus pada kesimpulan bahwasanya daerah tempat komunitas tari ini berada dahulu merupakan daerah yang banyak dihuni oleh pemeluk agama Hindu-Jawa. Bahkan sebagian dari daerah tersebut masih didominasi oleh masyarakat Hindu-Jawa yaitu di wilayah Tengger Ngadas Malang.

Menurut catatan Murgiyanto, komunitas tari topeng modern yang tertua adalah di wilayah Tumpang. Kemunculan komunitas ini diawali oleh pengembangan kesenian tari topeng di wilayah kecamatan Tumpang pada pertengahan abad 19-an oleh Mbah Rusman yang terkenal dengan nama Kik Tirto. Nama ini merujuk pada nama Tirtowinoto, dan arti kata “Kik” adalah bapak sehingga nama Kik Tirto berarti bapak dari Tirto . Sekarang di wilayah Tumpang hanya ditemui paguyuban seni tari Mangun Dharmo pimpinan Karen Elizabeth di desa Tulus Besar dan Sri Margo Utomo di desa Glagah Dowo pimpinan Rasimoen.

Versi lain menyebutkan bahwa tari topeng yang terhitung tua dan masih terkenal di wilayah kabupaten Malang adalah di dusun Kedungmonggo, tempat penelitian ini berlangsung. Menurut penuturan Handoyo :

“Tari topeng di wilayah Malang yang sampai sekarang masih aktif dan eksis berada di Kedungmonggo. Komunitas lainnya meskipun masih ada tetapi sudah jarang tampil di depan umum. Kadang kalau ada pertunjukan dari komunitas lain, sebagian penarinya juga diambil dari Kedungmonggo.” Masih menurut Handoyo, sejarah munculnya tari topeng di Kedungmonggo itu sejak zaman penjajahan Belanda. Sayangnya ketepatan waktu tahun munculnya belum bisa dipastikan. Namun menurutnya munculnya di lokasi penelitian adalah waktu kabupaten Malang dipimpin oleh bupati Malang yang bernama Raden Sjarip bergelar Adipati Suryo Adiningrat pada tahun 1890 an.

Orang yang dulu mengajarkan tari topeng pertama kali di dusun Kedungmonggo adalah Ki Serun setelah sebelumnya belajar dari Gurawan, seorang guru tari topeng yang berasal dari gunung Kawi. Ki Serun memberikan pendidikan tari pada beberapa masyarakat di sekitar dusun sehingga pada akhirnya muncullah bibit-bibit penari topeng yang mengawali proses pembentukan komunitas tari topeng di dusun Kedungmonggo. Setelah Ki Serun lanjut usia kepemimpinan komunitas tersebut dipegang oleh pak Kiman, yang tak lain adalah putranya sendiri. Pak Kiman memiliki bakat dan kemampuan untuk menari dan memahat topeng. Namun kala itu keberadaan tari topeng Malang mengalami dinamika yang cukup mengenaskan. Beberapa pengikut komunitas ini tidak mampu mengembangkan tari topeng seperti sebelumnya karena terbelit berbagai masalah. Di sisi lain, keberadaan tari topeng tidak mampu menunjang kehidupan ekonomi para anggotanya.

Selanjutnya setelah meninggalnya pak Kiman sejarah komunitas tari topeng yang tertatih-tatih dalam menjalani roda zaman dialih-tangankan pada sosok Karimun kecil yang tidak lain adalah anak Kiman, cucu dari Kik Serun. Karimun memiliki bakat tari dan memahat serta panjak sehingga di tengah komunitas ini eksistensinya bisa diselamatkan dari persaingan jagat hiburan kala itu. Sampai pada tahun 1970an dinamika perkembangan tari topeng Malang mengalami kemunduran yang signifikan. Namun berkat kesabaran dan kegigihan seorang Karimun pada tahun 1980an tari topeng Malang berangsur-angsur mulai dikenal masyarakat Malang secara luas dan menjadi ikon kebanggaan kota Malang berkat kerja sama pemerintah dan masyarakat sekitar Malang dalam mensosialisasikan tari topeng Malang. Terbukti bahwa lokasi Kedungmonggo sampai sekarang banyak dikenal oleh masyarakat seantero Malang dan sering dijadikan rujukan dalam penelitian mengenai seni kebudayaan lokal utamanya seni tari dan seni pahat.

Akan tetapi pada zaman sekarang tari topeng Malang tidak selestari dulu, dimanadulu dalam momem-momen atau acara apapun yang ada di Malang tari topeng selalu dipertunjukkan, dan sekarang tidak seperti itu lagi, tari topeng sudah tidak menjadi hal yang harus dipertunjukkan dalam acara-acara di Malang, melainkan hanya pada saat-saat yang tertentu,. Hal itu menjadikan tari topeng hamper punah.

-Faktor-faktorPenyebab Keterpurukan Wayang Topeng Malang.[3]

Keadaan kesenian Wayang Topeng Malang yang kini mengalami keterpurukan tidak lepas dari faktor-faktor penyebab, baik yang bersifat intern maupun ekstern. Faktor-faktor tersebut diuraikan di bawah ini :

1.Faktor Intern

Faktor intern adalah faktor yang menyebabkan terpuruknya Sastra Pertunjukan Wayang Topeng Malang, ditinjau dari keutuhan dari dalam kesenian tersebut, diantaranya penggunaan atribut topeng, pengangkatan cerita Panji, nama dan karakter tokoh, tingkat kesulitan, permainan adegan, dan pemahaman karakter tokoh.

2.Faktor Ekstern

Faktor ekstern adalah faktor yang menyebabkan terpuruknya Sastra Pertunjukan Wayang Topeng Malang, ditinjau dari keutuhan dari luar kesenian tersebut, diantaranya minimnya regenerasi, egoisme seniman, kurangnya perhatian pemerintah, kurang profit sebagai prospek kerja, dan minimnya animo masyarakat.

a.Minim regenerasi, Sampai saat ini, Wayang Topeng Malang masih didominasi oleh para seniman yang sudah “berumur”. Jarang sekali dijumpai adanya peminat kesenian ini dari kawula muda. Hal ini tentu sangat disayangkan.

b.Egoisme kaum seniman Malang, beberapa pengamat kesenian dan pertunjukan menilai, bahwa bebrapa seniman di Malang memiliki egoisme yang tinggi. Antar Nusa, salah satu pengamat seni pertunjukan yang juga merupakan seorang guru seni mengungkapkan, kesenian di Malang tertinggal jauh dibandingkan kesenian dari daerah lain. Contohnya, apabila seorang seniman Malang membuat sebuah karya seni maka ia hanya akan mengajarkannya pada kalangan tertentu saja. Mereka terlalu idealis dengan apa yang mereka ciptakan. Mungkin bisa dikatakan, para seniman Malang ini “pelit” untuk membagi ilmu. Apa yang mereka punyai hanya diajarkan sebatas lingkungan mereka saja. Maka, tak mengherankan jika perkembangan kesenian di Malang hanya nampak pada daerah-daerah tertentu saja, tidak merata di semua wilayah.

c.Besarnya anggaran dana, untuk mementaskan sebuah karya pertunjukan, memang diperlukan dana yang tidak sedikit. Pertunjukan semacan ini sudah dikenal “mahal” karena biaya sewa kosrumnya yang mahal. Belum lagi biaya yang lain-lain. Hal ini juga terjadi pada Wayang Topeng Malang. Sesungguhnya, hal ini tak akan terasa berat apabila bersama-sama dipikul bersama pemerintah sebagai aparatur.

[1] Suwardi Endraswara “Metodologi penelitian kebudayaan” (Yogyakarta: GadjahMada, 2006), hal. 4

[2] Anonym 2, “Ragam Budaya”. www.indomedia.com.

[3] Bagusworo, “Wayang Topeng Malang (2008). http://bagusworob.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun