Mohon tunggu...
Riko Noviantoro Widiarso
Riko Noviantoro Widiarso Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Kebijakan Publik

Pembaca buku dan gemar kegiatan luar ruang. Bergabung pada Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pengelolaan DAS, Pusat, dan Daerah Bertanggung Jawab

10 Januari 2020   17:51 Diperbarui: 10 Januari 2020   23:23 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir Awal Tahun: Jakarta terkepung banjir pada awal tahun. Ini lah bukti kebijakan yang gagal mengantisipasi (foto: kompas.com)

Banjir yang melanda Jakarta sontak membuat gaduh jagat pemberitaan. Cercaan, kritikan sekaligus bantahan pun ramai di media sosial. Banjir menjadi medan tarung bagi kedua kubu yang berseteru. Terasa suasana pilkada dan pilpres kembali hadir.

Lebih parahnya para pejabat yang bersangkutan pun perang terbuka. Saling melontarkan kritikan dan sanggahan terhadap penyebab banjir Jakarta. Bahkan terus menajam hingga beberapa waktu. Masyarakat pun disuguhkan perdebatan yang mungkin juga menjemukan.

Tentu saja banjir di Jakarta bukanlah hal baru. Sudah berulang kali terjadi. Bahkan sejarah mencatat banjir di Jakarta sudah terjadi sejak jaman kerajaan Tarumanegara, sekira abad ke V. Bukti peristiwa banjir tertuang pada prasasti Tugu.

Menariknya kondisi banjir di Jakarta pada jaman itu tidak menghentikan tekad orang untuk berhuni. Ragam pendatang memadati Jakarta. Baik itu pendatang dari negara asing hingga pendatang lokal. Semua menikmati hidup di Jakarta.

Banjir dikala itu pun berasal dari sungai Ciliwung serta sungai-sungai lain yang menuju Jakarta. Kondisi tersebut menujukan tata kelola air memprihatinkan. Kenyataan itu disadari Belanda yang datang untuk berniaga. Upaya menata saluran air pun mulai dilakukan, tercatat pada pertengahan abad 17 an.

Dari catatan sejarah tersebut sudah cukup menjadi pemahaman bahwa kota Jakarta merupakan daerah rawan banjir. Artinya pemerintah Jakarta dan pemerintah pusat tidak perlu lagi berdebat mencari pihak yang bertanggung jawab.

Tanggung jawab bersama itu sudah pula tertuang dalam sejumlah regulasi. Satu diantaranya adalah PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Melalui peraturan pemerintah itu menegaskan perencanaan, penetapan hingga pengelolaan dan monitoring -- evaluasi terhadap Daerah Aliran Sungai menjadi kewajiban pemerintah pusat -- daerah.

Setidaknya terdapat 29 pasal yang menujukan keterlibatan pemerintah pusat -- daerah. Mulai dari Pasal 22 sampai Pasal 51, PP No.37 Tahun 2012. Dengan demikian pemerintah pusat -- daerah khususnya, Kementerian PUPR dan Pemerintah DKI Jakarta tidak perlu lagi berdebat.

Meskipun dalam pasal itu memberikan ruang bagi pemerintah bersangkutan melakukan kewengan sesuai dengan aturan. Tetapi semangatnya sama, yakni mengendalikan atau mengelolan DAS untuk tujuan ekologis, sosial dan ekonomi.

Dalam presptif peraturan pemerintah ini pun melibatkan lintas wilayah. Artinya pada setiap daerah yang bersisian dengan daerah aliran sungai memiliki tanggung jawab sama. Dengan kata sederhana pemerintah di kawasan hulu sampai pemerintah kawasan hilir bertanggung jawab sama.

Pemerintah Bogor misalkan tidak bisa diam saja. Punya tanggung jawab sama seperti pemerintah pusat dan pemerintah daerah lain. Begitu pula pemerintah Jakarta yang berada di kawasan pesisir atau hilir, memiliki tanggung jawab sama.

Pastinya peristiwa banjir di Jakarta pada awal tahun 2020, merupakan bukti kegagalan pengeolaan DAS. Itu berarti pula kegagalan pada pemerintah pusat -- daerah. Baik dalam persoalan perencanaan, penetapan rencana, pelaksanaan sampai evaluasi dan monitoring daerah aliran sungai.

Jika saja para pejabat itu dapat memahami, maka sudah pasti tidak ada perdebatan di ruang publik terjadi. Tidak pula ada saling tuding kesalahan. Banjir sebagai bencana harus diatasi, korban bencana perlu dilindungi.

Tontonan debat dua pejabat dalam persoalan banjir menjadi bukti kualitas pemimpin kita belum maksimal. Masih senang berkutat pada pencitraan diri. Pemujaan terhadap pujian publik. Bahkan menjadi haus dan kering jika tanpa publikasi.

Dampaknya tentu saja tidak sederhana. Banjir yang harusnya bisa dipandang sebagai koreksi kebijakan, justru menjadi ruang unjuk kemampuan diri. Saling mengklaim telah melakukan hal-hal terbaik dalam pengelolaan kawasan DAS, agar tidak terdampak banjir. Nyatanya banjir pun datang.

Semoga ini menjadi banjir terakhir di Jakarta. Sekaligus menjadi peristiwa terakhir bagi pejabat publik untuk berdebat terbuka di ruang publik. Agar mampu menghadirkan pemerintahan yang bersungguh- sungguh.

Riko Noviantoro

Peneliti Kebijakan Publik

Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun