Mohon tunggu...
Riko Noviantoro Widiarso
Riko Noviantoro Widiarso Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Kebijakan Publik

Pembaca buku dan gemar kegiatan luar ruang. Bergabung pada Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Masa Depan MRT dan Insentif Pajak Kendaraan

4 April 2019   13:49 Diperbarui: 5 April 2019   02:39 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kereta Mass Rapid Transit (MRT) melintas di Kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, tampak dari foto udara, Rabu (30/1/2019).  Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha

Hadirnya dua moda transportasi massal berbasis kereta, yakni MRT (moda raya terpadu) dan LRT (lintas rel terpadu), membuat wajah kota Jakarta kian sumringah. Fasilitas pendukungnya seperti jembatan dan pedestrian pun ikut disulap. Ibu kota negara yang tahun ini akan berusia 492 tahun berasa lebih modern.

Kegembiraan masyarakat Jakarta dan sekitarnya pun tidak terelakan. Animo yang besar dari  masyarakat mau menggunakan MRT dan LRT menjadi bukti nyata. Bukti bahwa masyarakat mulai menerima budaya baru, budaya bertransportasi publik.

Budaya transportasi publik akan bersentuhan dengan mengurangi kemacetan lalu lintas. Itu berarti mulai ada transformasi berkendaraan pribadi menjadi berkendaraan umum. Faktanya tranformasi dari kendaraan pribadi menuju kendaran umum tidak mudah.

Pelajaran yang cukup berharga terlihat pada konsep Transjakarta dan kebijakan ganjil-genap. Dua kebijakan itu memperlihatkan sinyal kegagalan, jika tidak terus di-support.

Bus Transjakarta yang diharapkan mampu mendukung mobilitas masyarakat, mengalami persoalan. Mulai dari keterlambatan support armada, daya tampung yang tidak memadai, tidak adanya kepastian jadwal, hingga bus terbakar, memberi pengaruh serius. Akibatnya meredupkan animo masyarakat.

Kebijakan ganjil-genap juga bernasib sama. Alih-alih mengurai kemacetan, justru menimbulkan persoalan baru. Ruas kemacetan mengular sampai ke jalur lain. Amarah publik pun sempat mencuat. Akibatnya problem kemacetan tidak juga menemui jalan keluar.

Memang harus diakui kebijakan transportasi di berbagai negara maju itu bersifat komprehensif. Tidak sepotong-sepotong. Tidak hanya pada penguatan armada tranportasi publik dan sistem transportasi yang terintegrasi. Tetapi juga support kebijakan pajak kendaraan.

Singapura yang merupakan negara kecil itu dapat menjadi contoh. Di mana penyediaan transportasi publik yang memadai juga kebijakan perpajakan yang tepat. Sekaligus edukasi bertransportasi publik yang tidak pernah berhenti. Hasilnya dapatlah dilihat dan dinikmati sampai sekarang.

Pemerintah Jakarta sedianya bisa mencontoh itu pula, meski perlu modifikasi. Terutama dalam kebijakan pajak kendaraan. Salah satunya penerapan kebijakan insentif pajak kendaraan yang bisa sebagai penguat kebijakan transportasi publik. Melalui insentif pajak kendaraan dapat 'memaksa' masyarakat berpindah dari kendaraan pribadi menjadi kendaraan publik.

Bicara kebijakan insentif pajak di Indonesia, bukan hal baru. Pemerintah menerapkan dua insentif pajak seperti Tak Holiday dan Tax Allowance. Dua kebijakan perpajakan yang diatur dalam PMK No. 35 Tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan dan PP No. 9 Tahun 2016 tentang Perubahan PP No. 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu, dinilai berhasil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun