Hari itu hujan deras turun sejak pagi. Angin mendesak air masuk ke dalam rumah lewat celah pintu, dan seperti biasa... lantai di dekat pintu pun jadi korban.
Lantai kini licin, dingin, dan basah kuyup. Keset yang selama ini berjaga di depan pintu langsung merinding, bukan karena kedinginan, tapi karena tahu, waktunya “bekerja”.
Lantai Basah (dengan nada manja): “Keset... aku dingin… basah... dan sedikit trauma.”
Keset (dengan nada lelah): “Aduh, kamu lagi. Baru kemarin aku dijemur gara-gara nyerap lumpur dari kaki-kaki sandal hujan. Sekarang kamu banjir air mata lagi?”
Lantai Basah: “Ini bukan air mata, ini air hujan! Dan aku gak nangis, aku cuma overhydrated.”
Keset (sambil menghela napas): “Ya ampun, kamu tuh gampang banget basahnya. Udah tahu musim hujan, jangan buka-buka pintu hati begitu dong.”
Lantai Basah (membalas): “Lah, enak aja! Siapa suruh manusia lupa nutup pintu. Aku cuma korban!”
Keset (dengan dramatis): “Dan siapa yang harus menyerap semua masalahmu, huh? Aku! Dari air, debu, sampai bekas kaki yang entah dari mana datangnya. Aku tuh seperti sahabat sejati yang gak pernah dihargai!”
Lantai Basah (tersipu): “Iya, iya, maaf. Tapi kamu tuh emang paling bisa, Set. Lembut, penyerap, dan wangi sabun cuci.”
Keset (mulai luluh): “Hmm... ya udah deh. Sini, peluk aku. Tapi ingat, ini terakhir kalinya hari ini ya.”