Di dalam laci tua yang jarang dibuka, tergeletak dua benda logam yang tampaknya biasa saja, kunci dan gembok. Tapi tunggu dulu, mereka bukan sembarang kunci dan gembok. Mereka punya mulut. Punya pikiran. Dan tentu saja punya masalah pribadi.
Kunci (dengan nada sok penting): “Ck ck ck… Hari ini juga nggak dipakai. Dunia emang udah makin kacau. Sekarang semua pakai sidik jari atau kartu. Ke mana perginya zaman keemasan kita, Gembok?”
Gembok (malas-malasan, sambil menguap): “Kau ribut terus, Kunci. Kita ini barang nostalgia. Kolektor suka banget sama kita. Lagian, aku sih bersyukur. Bisa tidur sepanjang hari, nggak perlu kerja rodi ngunci pagar rumah orang setiap hari.”
Kunci: “Aku ini pencipta solusi, bro. Tanpa aku, kamu cuma seonggok logam berisik yang nggak bisa ngapa-ngapain. Bukalah matamu yang karatan itu!”
Gembok (mendesah): “Dan tanpa aku, kamu cuma batang besi kurus yang dipikir orang colokan USB.”
Kunci: “Wah, ini udah mulai nyakitin personal nih. Oke, aku terima. Tapi ingat, akulah yang selalu nyamperin kamu saat kamu dalam keadaan tertutup rapat dan gak bisa ngapa-ngapain.”
Gembok: “Iya, tapi setiap kali kamu datang, kamu muter-muterin isi perutku! Kalau aku bisa muntah baut, aku udah muntah dari kemarin-kemarin.”
Kunci (tertawa): “Itu namanya kerja tim, dong. Aku muter, kamu buka. Romantis, bukan?”
Gembok: “Romantis apanya?! Aku ini udah kayak jadi korban hipnotis tiap kamu datang. Tau-tau aku terbuka dan orang lain bisa ngacak-ngacak isi gudang.”
Kunci: “Yah, itu memang hidup kita. Kamu penghalang, aku pembuka. Kayak drama Korea, kita beda dunia tapi ditakdirkan bersama.”
Gembok (sarkas): “Kalau ini drama Korea, aku harap kita udah tamat di episode 1.”